KRISIS MONETER 1997 DAN PROSPEK KAPITALISME
Oleh Dedy N Hidayat
KOMPAS, Kamis, 11-12-1997. Halaman: 4
KRISIS moneter yang kini tengah berlangsung mengingatkan orang kembali pada teori-teori siklus kapitalisme, seperti teori longwaves dari Ernest Mandel dan David Gordon. Siklus boom and bust, menurut teori-teori tersebut, merupakan suatu karakteristik yang inheren dalam sistem kapitalisme.
Semenjak periode depresi dunia tahun 1929-1933, serangkaian periode pertumbuhan dan kemunduran silih berganti memang mewarnai perjalanan kapitalisme. Bagi Empat Macan Asia beserta sejumlah negara di kawasan Asia Tenggara, setelah periode boom dengan pertumbuhan ekonomi yang spektakuler, maka kini datanglah periode bust yang diawali oleh krisis moneter 1997.
Setiap periode kemunduran boleh jadi memang memberi pelajaran yang mengoreksi sistem kapitalisme. Wabah depresi 1929-1933 sekurangnya telah mengubah kapitalisme yang ada sebelumnya, yakni dengan memberi pelajaran bahwa pasar yang kapitalistis murni tidak bisa mengendalikan diri mereka sendiri tanpa adanya bantuan instrumen-instrumen intervensi pemerintah. Kini, di tengah krisis moneter 1997 yang tengah berlangsung, pertanyaan yang mulai banyak dikemukakan orang adalah apakah sistem kapitalisme bisa menarik pelajaran baru dari krisis tersebut dan memasuki milenium ketiga dengan sebuah wajah yang baru pula.
Rasionalitas formal
Krisis moneter 1997 memberikan konfirmasi terhadap pelajaran yang diperoleh dalam depresi tahun 1930-an, yakni bahwa mekanisme pasar memang tidak sepenuhnya bisa dipercayakan pada the invisible hand.
Para pengamat, hingga negarawan seperti PM Kanada Jean Chretien, umumnya sependapat bahwa porsi kesalahan terbesar dalam krisis dewasa ini terletak di tangan para pengusaha swasta, yang dinilai terlalu ekspansif, terlalu percaya diri, dan karenanya menjadi terlampau berani membiayai investasi mereka dengan dana kredit bank. Tepat pula pengamatan yang menilai bahwa pihak swasta, di mana-mana, tidak terkecuali di Indonesia, sering takabur serta bersombong di atas utang (lihat "Kasus Yamaichi dan Kecemasan Asia Pasifik, Kompas, 25 November 1997).
Harus diakui, spirit swasta dalam melakukan akumulasi modal dan ekspansi ekonomi, serta keterampilan mengeksploitasi peluang-peluang pertumbuhan kemakmuran itulah yang telah memberi kontribusi besar dalam membawa negara-negara di kawasan Asia Timur dan Asia Tenggara memasuki periode boom. Tetapi ketika spirit dan keterampilan tersebut telah menjadi the defining ethos yang menentukan segala kriteria kinerja mereka, maka itulah saat kedatangan kembali periode bust.
Spirit serta keterampilan swasta dalam melakukan akumulasi modal dan ekspansi ekonomi memang merupakan salah satu esensi kapitalisme. Itu semua didasarkan atas rasionalitas formal, atau sebuah sistem logika yang terpusat pada tujuan maksimalisasi produksi (bagi manajer), dan maksimalisasi keuntungan serta akumulasi modal (bagi pemilik modal). Rasionalitas formal itu pula yang membentuk sebuah tingkah-laku ekonomi dalam sebuah never-ending circuit of capital accumulation, yang seringkali digambarkan sebagai sirkuit M - C - M', atau Money, Commodities, and More Money.
Sirkuit tersebut merupakan sebuah spiral yang tak terputus, di mana pelaku ekonomi mempergunakan modalnya untuk memproduksi komoditi guna memperoleh modal yang lebih besar. Modal yang lebih besar tersebut kemudian dipergunakan kembali semata-mata demi memproduksi komoditi yang lebih banyak demi menghimpun modal yang jauh lebih besar lagi, dan seterusnya. Itu semua dalam sistem kapitalis modern dilakukan dengan memanfaatkan semaksimal mungkin kredit investasi dari lembaga-lembaga keuangan.
Dengan demikian, aktivitas ekonomi untuk mengakumulasi modal telah menjadi tujuan, bukan lagi sebuah cara untuk mencapai tujuan-tujuan substansif kemanusiaan, seperti kesejahteraan manusia seutuhnya, peningkatan harkat hidup masyarakat, pelestarian lingkungan hidup atau sejenisnya.
Rasionalitas formal beserta ekses sirkuit akumulasi modal seperti itulah yang akhirnya justru menjadi elemen irasional dalam aktivitas peningkatan kesejahteraan manusia. Di mana letak rasionalitas sebuah sistem ekonomi, bila overproduction makanan menjadi sebuah masalah di tengah masyarakat yang masih banyak kekurangan makan, atau bila oversupply perumahan justru menjadi problem di tengah sekian juta orang yang tidak mempunyai tempat tinggal?
Demokrasi
Krisis moneter 1997 memberi konfirmasi terhadap perlunya intervensi pemerintah dalam mekanisme pasar, sebuah pelajaran yang diperoleh melalui depresi tahun 1930-an dulu. Tapi lebih dari itu, krisis 1997 banyak diharapkan juga mampu mempertegas jawaban mengenai karakteristik pemerintahan seperti apa yang efektif dalam mengatur pasar tersebut.
Seperti halnya ketika Empat Macan Asia dan sejumlah negara Asia Tenggara tengah terbenam euphoria periode boom years, maka kini ketika mereka tengah terseret krisis moneter memasuki periode bust years, salah satu isu yang tetap dinilai relevan adalah pertanyaan tentang posisi serta prospek demokrasi dalam pembangunan sistem ekonomi kapitalis. Kesemuanya terkait dengan proposisi hubungan antara kapitalisme dan demokrasi, baik yang menyatakan kapitalisme mempengaruhi munculnya sistem yang demokratis, ataupun yang menilai demokrasi merupakan necessary pre-condition bagi keberhasilan pembangunan kapitalis.
Keberhasilan ekonomi Empat Macan Asia, yang diikuti oleh sejumlah negara berkembang di kawasan Asia Tenggara, selama ini cenderung menyingkirkan demokrasi ke luar zona relevansi pembangunan kapitalisme. Prestasi ekonomi mereka telah dijadikan bukti bahwa keberhasilan kapitalisme tidak mensyaratkan sebuah sistem politik demokratis. Sejumlah pakar bahkan menyatakan bahwa yang diperlukan bagi pembangunan kapitalisme di kawasan ini, bukan demokrasi, tetapi justru autoritarianisme. Dengan kata lain, dinyatakan bahwa autoritarianisme adalah necessary evils bagi pembangunan kapitalisme.
Namun bila menyimak latar-belakang munculnya krisis moneter 1997, nampaknya orang tidak perlu menjadi ekonom untuk bisa memahami adanya kondisi-kondisi politik tertentu yang diperlukan bagi suatu pembangunan kapitalisme; dan kondisi-kondisi tersebut hanya bisa dipenuhi melalui penciptaan sistem politik yang demokratis.
Banyak analis ekonomi, seperti Paul A Samuelson, sependapat bahwa jatuhnya Korea Selatan telah bisa diduga, karena memang negeri ini menyimpan bermacam masalah yang berkaitan dengan koneksi, korupsi, kolusi politik, dan kurangnya transparansi dalam pengelolaan ekonomi. Sektor perbankan negeri itu, yang kini dililit kredit bermasalah hingga 52 milyar dollar, sebelumnya telah menyalurkan kredit -tanpa benar-benar didasarkan pertimbangan bisnis dan berulangkali melampaui legal lending limit - untuk membiayai proyek-proyek mubazir konglomerat lokal (chaebol). Kecerobohan itu banyak dipacu oleh tekanan pengaruh politik dari aparat birokrasi, ataupun kepentingan untuk memperoleh imbalan sumbangan politik (chonji) dari para konglomerat.
Dalam skala dan intensitas yang berbeda-beda, apa yang terjadi di Korea Selatan itu pun dialami negara-negara Asia Timur dan Tenggara; bahkan hal itu masih dilengkapi sejumlah variasi, mulai dari praktek nepotisme hingga integrasi antara elite penguasa politik dengan dunia bisnis- yang inti kesemuanya didasarkan sebuah formula bahwa proksimitas dengan kekuasaan sama dengan akses bisnis.
Berdasarkan pengamatan tersebut, sistem politik demokrasi, yang mampu menciptakan kontrol serta transparansi dalam pengelolaan ekonomi, nampaknya berpotensi memberikan kontribusi bagi pembangunan sebuah sistem kapitalisme. Lebih dari itu, dalam kondisi ekonomi dunia yang semakin liberal dan saling terkait, maka penciptaan sistem politik demokratis di sebuah negara tertentu tidak bisa lagi dilihat sebagai kebutuhan negara yang bersangkutan saja, melainkan kebutuhan dari negara-negara anggota lainnya dalam sistem ekonomi kapitalis internasional. Sebab, kemelut ekonomi di satu negara sebagai akibat faktor politik di balik korupsi, kolusi, ataupun nepotisme, dengan cepat mempengaruhi ekonomi negara-negara lainnya. Pemahaman itu pula yang terbaca di balik persyaratan IMF bagi negara yang meminta bantuan keuangan untuk mengatasi krisis moneter mereka.
Prospek
Harapan yang kini muncul adalah agar krisis moneter 1997 mampu membawa kapitalisme di Asia Timur dan Asia Tenggara memasuki milenium ketiga dengan sebuah wajah baru, di mana koreksi terhadap rasionalitas formal pelaku ekonomi dimungkinkan oleh intervensi struktural sebuah pemerintahan yang transparan dan demokratis dalam mekanisme pasar.
Tetapi hubungan antara kapitalisme dengan demokrasi sebenarnya amat kompleks. Analisis-analisis proyektif tentang prospek hubungan antara kapitalisme dan demokrasi merupakan suatu usaha yang teramat sulit. Masalah utamanya, kapitalisme tidak secara intrinsik memuat dimensi-dimensi moralitas politik dalam dirinya.
Kapitalisme, sebagai suatu regim kapital, memiliki ideologi dan sistem logika yang terpola pada never-ending circuit of capital accumulation. Karenanya, sentralitas kapital itu sendirilah yang selalu menjadi basis material dan moral bagi pembentukan formasi-formasi sosial-politik. Segala pertimbangan mengenai pilihan bentuk sistem politik hanya muncul sejauh itu mempengaruhi sirkuit akumulasi modal. Pertimbangan domestik ataupun internasional untuk memasukkan dimensi demokrasi dalam pengaturan sebuah formasi sosial-politik hanya dilakukan sejauh demokrasi mempunyai nilai instrumental dalam sirkuit akumulasi kapital. Ini berarti prospek hubungan demokrasi dan kapitalisme tergantung pada prospek sentralitas kapital itu sendiri.
Konsekuensinya, bila hanya mengandalkan rasionalitas dan moral ekonomi pelaku pasar serta kemauan politik pemerintah, tanpa adanya intervensi dari elemen-elemen kekuatan demokrasi yang tidak terlibat aktivitas akumulasi modal, maka kapitalisme milenium ketiga akan tetap menempatkan akumulasi modal dalam posisi sentralnya.
* Dedy N Hidayat, staf pengajar Pascasarjana UI, Jakarta.
Tuesday, June 20, 2006
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment