Saturday, June 10, 2006



SIRKUIT AKUMULASI MODAL DAN KUASA

Oleh Dedy N Hidayat
KOMPAS, Rabu, 23 Maret 2005

MUNCULNYA kondisi yang secara sistemik menempatkan negara lebih sebagai instrumen sirkuit akumulasi modal dan kekuasaan kian perlu diwaspadai. Sebab, relasi negara-pasar berubah ke bentuk yang memancing pertanyaan, "Apakah loyalitas pada perusahaan berakhir setelah seorang menjadi pejabat negara?"

Sirkuit akumulasi modal dan kekuasaan merupakan suatu spiral proses sirkuler yang intinya bisa digambarkan melalui formulasi M-P-M' (atau money-power- more money). Artinya, pemilik modal atau politikus menggunakan kekuatan finansial guna mendapat posisi kekuasaan politik, lalu dimanfaatkan guna menghimpun lebih banyak modal, yang bisa digunakan lagi demi tujuan akumulasi kekuasaan politik dan seterusnya.

Peluang bekerjanya sirkuit M-P-M' kini diperbesar, antara lain, oleh munculnya berbagai bentuk aliansi antara masyarakat politik dan masyarakat bisnis, yang pada tingkat nasional bisa berujung pada terbentuknya aliansi antara negara dan berbagai fraksi pemilik modal. Aliansi itu antara lain karena partai politik, kandidat anggota lembaga legislatif, atau pimpinan lembaga eksekutif di berbagai tingkat pemerintahan kian dihadapkan tuntutan untuk menghimpun dana bagi pemenangan pemilu, yang ditandai sebagai kampanye berbiaya besar (big money campaign). Usaha-usaha memelihara kekuasaan pun kian memerlukan praktik money politics.

Sirkuit semacam itu menyebabkan negara secara konstan dibayangi krisis representasi. Di satu sisi negara dituntut berperan mengupayakan kesejahteraan masyarakat pemilih. Di sisi lain dalam era dominasi neoliberalisme, negara dipengaruhi kombinasi antara tekanan untuk melakukan liberalisasi pasar serta tuntutan untuk memberi konsesi bagi kepentingan akumulasi modal aneka kelompok pebisnis yang telah memberi dukungan finansial dalam melakukan big money campaign dan politik uang.

Dalam konteks itu, economic determinism harus diartikan secara luwes. Artinya, kemenangan seorang kandidat tidak hanya ditentukan oleh faktor kekuatan ekonomi, tetapi bagaimanapun, kampanye telah menjadi sebuah industri. Oleh karena itu, ruang gerak kandidat dibatasi oleh faktor kekuatan ekonomi. Pilihan yang dilakukan publik juga tidak hanya ditentukan faktor kekuatan finansial kandidat, tetapi pilihan yang tersedia bagi publik telah terstruktur oleh konstelasi kekuatan modal di Tanah Air.

Pematangan relasi

Peluang bekerjanya sirkuit M-P-M' dan munculnya krisis representasi di Tanah Air kini menjadi kian nyata. Sebab, relasi negara-pasar telah bermutasi, berubah ke bentuk lebih gamblang, yakni tidak hanya ditandai adanya aliansi antara negara dan pemilik modal, tetapi juga oleh penetrasi pemilik modal yang kian masif ke pengendalian negara secara langsung.

Hal itu dilakukan dengan merebut posisi di lembaga-lembaga legislatif atau eksekutif melalui proses pemilu atau melalui berbagai pendekatan dan tawar-menawar politik, yang lebih dimungkinkan oleh dimilikinya surplus modal. Pemilu 2004 menunjukkan kian banyaknya pemilik modal yang menjadi kandidat anggota lembaga legislatif, atau yang dipilih sebagai pasangan (running mate) dalam pemilu eksekutif. Beberapa di antaranya bahkan pebisnis yang diuntungkan kapitalisme kroni era Orde Baru.

Alhasil, komposisi pebisnis dalam lembaga legislatif dan eksekutif kini tampak meningkat. Pada tataran nasional, kini makin banyak pebisnis besar yang memegang posisi-posisi kunci, baik di lembaga eksekutif maupun legislatif. Daftar pengusaha yang menempati posisi sebagai penguasa politik kian panjang jika diteliti susunan keanggotaan legislatif di tingkat lokal, dan pejabat-pejabat hasil pemilihan kepala daerah langsung (pilkada) yang segera akan berlangsung.

Oleh karena itu, menjadi amat penting bagi publik di Tanah Air untuk selalu menyidik adanya kaitan antara kepentingan ekonomi fraksi-fraksi modal tertentu dalam pemerintahan dengan aneka kebijakan publik yang dijalankan (seperti kenaikan harga BBM, swastanisasi BUMN). Di Amerika Serikat pun, di mana pengawasan publik relatif kuat, bisa terjadi kasus di mana sebuah perusahaan (Haliburton) yang kepemilikannya terkait Wakil Presiden Dick Cheney, mendapat porsi besar dalam proyek rekonstruksi Irak. Kasus itu mengungkap adanya motivasi ekonomi di balik kebijakan yang dipropagandakan sebagai upaya demokratisasi dan antiterorisme.

Hal serupa mungkin terjadi di Tanah Air. Tender 91 proyek infrastruktur, senilai Rp 202 triliun, yang akan dibuka pemerintah Maret ini mungkin bisa dijadikan test case. Juga program rekonstruksi dan rehabilitasi Aceh pascatsunami yang akan mendapat kucuran hibah luar negeri miliaran dollar AS tentu mengundang air liur pejabat dan pengusaha. Apalagi, tidak adanya ketentuan hukum yang mencegah munculnya konflik kepentingan, seolah semua dikembalikan pada etika pejabat (Bisakah sebuah struktur ekonomi-politik dibangun berdasar asumsi seolah tiap orang memiliki etika dan kemauan baik?).

Di luar masalah konflik kepentingan pengusaha-penguasa, pertanyaan lebih mendasar menyangkut kemampuan negara mempertemukan tuntutan publik yang lebih dilandasi logika negara kesejahteraan, dengan aneka tekanan guna menerapkan aneka kebijakan market friendly yang dilandasi kaidah-kaidah neoliberalisme (dengan berbagai modifikasi, sesuai kepentingan spesifik kelompok bisnis yang terlibat aliansi). Munculnya pertanyaan seperti itu menunjukkan awal terjadinya krisis representasi, di tengah bayang-bayang munculnya kondisi di mana negara lebih menempatkan perannya sebagai instrumen akumulasi modal dan kekuasaan belaka.

Aparatus ideologi pasar

Struktur relasi negara dan bisnis, aneka kebijakan yang propasar, serta "ideologi ekonomi" yang mendasari semua, memerlukan dukungan publik. Oleh karena itu, negara dihadapkan pada kebutuhan memiliki aparatus ideologi yang mampu menyajikan itu semua sebagai realitas yang legitimate, wajar, tidak terelakkan.

Namun, liberalisasi ekonomi di Tanah Air telah datang dalam satu paket bersama liberalisasi politik. Eksistensi lembaga seperti Departemen Penerangan yang berfungsi sebagai aparatus ideologi negara, atau ideological state apparatus (ISA), tidak mendapat legitimasi. Jalan keluar yang dipilih para pengusaha-penguasa tampaknya akan seperti yang lazim diambil di sejumlah negara Barat. Antara lain, mendanai sejumlah institut atau think tank (seperti Adam Smith Institute, Brooking Institue, Von Hayek Institute), seolah sebagai "departemen penerangan swasta", berfungsi sebagai aparatus ideologi pasar, atau ideological market apparatus (IMA), untuk memproduksi legitimasi bagi "ideologi" dan aneka kebijakan produk aliansi negara dan pasar. Itu antara lain ditempuh melalui serangkaian studi, seminar, publikasi, hingga iklan advokasi, yang semuanya memanfaatkan dukungan analisis pakar, bahkan memanipulasi pendapat kalangan intelektual tertentu.

Sudah tentu, intelektual yang rentan terseret aparatus ideologi pasar adalah mereka yang selama ini beranggapan ilmu mereka merupakan ilmu "bebas nilai" dan model-model yang digunakan dalam kajiannya adalah model yang "obyektif". Kenyataannya, pilihan-pilihan yang dihadapi ilmu mereka (seperti pilihan antara pengurangan subsidi atau pengetatan pajak) juga aneka kriteria yang mendasari model-model mereka (seperti pendapatan Rp 18.000/hari sebagai batas garis kemiskinan) merupakan pilihan moral, yang dilandasi keberpihakan.

Kecenderungan di mana negara lebih berfungsi sebagai instrumen sirkuit M-P- M' menuntut adanya regulasi yang memungkinkan pemberian subsidi bagi kandidat independen yang tidak memiliki dana (seperti diterapkan di Arizona, AS) dan pengetatan aturan dana kampanye. Lebih dari itu, diperlukan suatu kekuatan moral dari para intelektual untuk mengontrol negara dan pasar, dengan lebih dulu tidak menjadikan dirinya bagian sirkuit akumulasi modal dan kekuasaan.

Dedy N Hidayat Dosen Pascasarjana Komunikasi FISIP UI

No comments: