Friday, June 16, 2006


GLOBALISASI, KEBUDAYAAN NASIONAL,PRIBUMISASI DAN ARTIKULASI

Oleh Dedy N. Hidayat
KOMPAS, Selasa 22-09-1992

KEBUDAYAAN nasional sebagai suatu realitas "obyektif", bukanlah suatu ujud final, melainkan suatu "proses menjadi yang tak berkesudahan"; dan sebagai realitas subyektif, yakni yang dihayati oleh beraneka-ragam individu, refleksi kebudayaan nasional merupakan suatu realitas majemuk, bukan realitas tunggal. Inilah agaknya salah satu perspektif yang tersirat dalam artikel Koentjaraningrat ("Kebudayaan Daerah, Kebudayaan Nasional, dan Globalisasi", Kompas, Juli 17, 1992).

Karenanya, kebudayaan nasional merupakan pula suatu pembaruan diri yang terus-menerus, yang sifat uniknya perlu ditafsirkan dalam konteks kontemporer. Seperti yang dikemukakan Koentjaraningrat, ia tak saja berisi unsur warisan nenek-moyang dan kreasi masa kini, tetapi juga unsur peradaban dunia masa kini, seperti sains dan teknologi, ataupun pranata-pranata ekonomi serta hukum internasional -- yang bagaimanapun kini masih amat pekat diwarnai produk industri kebudayaan Barat.

Namun, ada sejumlah unsur vital peradaban dunia yang luput dari pengamatan Koentjaraningrat. Seperti yang diamati melalui world-system theory (Wallerstein), dunia sebenarnya merupakan satu sistem kapitalisme, dengan satu sistem pembagian kerja antar negara -- terlepas dari keragaman kebudayaan dan sistem politik yang ada. Kapitalisme sebagai suatu mode of production (cara berproduksi) dan sebagai sistem nilai, merupakan unsur peradaban dunia masa kini yang mungkin paling dominan menentukan corak, isi, serta perkembangan suatu kebudayaan nasional ataupun unsur peradaban dunia lainnya. Pengintegrasian diri ke dalam sistem kapitalisme dunia, atau penetrasi kapitalisme ke dalam suatu kebudayaan, akan mampu merombak berbagai unsur kebudayaan -- dari kesenian, pendidikan, hingga pola hubungan keluarga.

Demokrasi, yang oleh Koentjaraningrat diharapkan bisa terserap ke dalam kebudayaan nasional, jelas juga merupakan unsur peradaban dunia kontemporer. Intensitas arus budaya global, khususnya dalam era teknologi komunikasi dewasa ini, telah semakin intensif menciptakan "imigran spiritual" dari Dunia Ketiga dan Dunia Kedua ke Dunia Pertama. Salah satu kemungkinan dampak peralihan spiritual tadi, adalah diserapnya demokrasi Barat sebagai bagian realitas subyektif kebudayaan nasional di Dunia Ketiga dan Dunia Kedua. Refleksi dari itu semua, akan memperkuat kecenderungan global diantara individu warga kebudayaan mana pun, untuk menjadikan demokrasi Barat sebagai tolok ukur penampilan sistem-sistem politik mereka.

Pribumisasi

Globalisasi, bagaimanapun juga, tidak selalu bisa diterjemahkan sebagai proses homogenisasi global. Telaah tentang eksisten kebudayaan nasional dalam konteks globalisasi, memang cenderung terpola sekitar kemungkinan tampilnya kebudayaan global, atau homogenisasi global dari kebudayaan-kebudayaan yang ada. Kubu pemikiran kiri, dalam tema bahasan imperialisme kebudayaan, telah mengemukakan serangkaian fakta mengenai homogenisasi global, atau bahkan lebih spesifik lagi "Amerikanisasi" kebudayaan-kebudayaan nasional (antara lain oleh Hamelink, 1993; Mattelart, 1983, and Sohiller, 1976). Kubu konservatif kanan cenderung pula menelaah globalisasi dalam kaitannya dengan homogenisasi global. Fukuyama (1989) contohnya, melalui tesis the end of history sebenarnya juga mengklaim, bahwa dengan robohnya komunisme dan fasisme, maka kapitalisme dan demokrasi akan menjadi bagian tiap kebudayaan nasional.

Tetapi telaah homogenisasi kebudayaan itu semua kurang jeli mengamati, bahwa globalisasi memuat pula sejumlah sisi kontradiktif, yakni yang justru melahirkan daya penangkal proses homogenisasi global. Penerimaan global terhadap paham negara kebangsaan (nation state) contohnya, merupakan salah satu unsur awal proses globalisasi, yang walaupun memang mampu memperkuat daya sentripetal ke arah homogenisasi global (antara lain melalui kerja sama, pelembagaan, dan aturan internasional), namun di lain pihak juga memiliki mekanisme internal yang berfungsi memelihara daya sentrifugal penangkal arus globalisasi. Dalam satuan negara kebangsaan tadi, berbagai kepentingan untuk memperoleh legitimasi politik dapat dibingkai dalam suatu strategi kebudayaan yang bertema "nasionalisme", untuk "mempribumikan" arus globalisasi dari Barat. Ini tidak saja berupa upaya "mempribumikan" unsur kebudayaan global yang mencakup kesenian, gaya hidup, dan pendidikan, tetapi juga kapitalisme dan demokrasi.

Oleh karenanya, ide demokrasi, dalam makna seperti yang kita jumpai di Barat, tidak sepenuhnya bisa terserap sebagai bagian dari suatu kebudayaan nasional. Walaupun kebudayaan nasional, sebagai realitas "obyektif", telah menjadikan demokrasi bagian darinya (yakni dengan pelembagaan dan aktivitas ritual demokrasi, seperti yang kita jumpai di Barat), namun sebagai realitas subyektif kesemuanya mungkin didominasi oleh satu versi penafsiran demokrasi, yang telah mempribumikan demokrasi sedemikian rupa, sehingga kehilangan maknanya yang sejati.

Di banyak negara, kapitalisme juga diserap dengan semangat untuk menyesuaikanya dengan kondisi unik latar belakang historis yang dimiliki, ataupun semangat untuk menulis sendiri sejarah kebudayaan mereka. Ini bisa diamati melalui model-model pembangunan kapitalis, yang dikembangkan oleh negara-negara Dunia Ketiga setelah dasawarsa '70an. Keberhasilan Korea Selatan contohnya, didasarkan atas suatu pribumisasi model pembangunan kapitalis yang sedemikian rupa, sehingga tidak lagi bisa dijelaskan melalui teori pembangunan kapitalis neoklasik. Hanya saja tak semua pribumisasi pembangunan kapitalis benar-benar didasarkan atas semangat untuk menemukan model pembangunan yang paling bermanfaat dan sesuai dengan kondisi setempat, dan tak semuanya pula mampu menampilkan keberhasilan yang berarti.

Artikulasi

Dalam proses globalisasi, penetrasi kebudayaan global juga mungkin melahirkan suatu artikulasi, yakni manifestasi suatu eksistensi bersama yang bersifat hierarkis (hierarchial coexistence) antara unsur kebudayaan global dengan unsur kebudayaan nasional. Artinya, masuknya kebudayaan global tidak menggeser kebudayaan yang telah ada, bahkan keduanya mampu hidup berdampingan (dan mungkin saling memperkuat), walaupun kesemuanya tetap didasarkan atas dominasi unsur kebudayaan global terhadap unsur kebudayaan nasional. Penetrasi kapitalisme global contohnya, meskipun akan menempatkan kapitalisme sebagai unsur dominan dalam suatu kebudayaan, namun tidak memusnahkan feodalisme sebagai suatu mode of production, yang sebelumnya telah menjadi bagian kebudayaan tersebut, dan dalam banyak kasus justru semakin memperkuatnya. Ini bisa dijelaskan melalui fakta, bahwa demi berhasilnya penetrasi yang dilakukan, unsur-unsur kapitalis global (seperti perusahaan transnasional) cenderung bekerja sama dengan kelompok yang memiliki dominasi politik dan ekonomi dalam suatu komunitas kebudayaan, yang di banyak negara adalah kelompok feodal. Dalam manifestasi yang berbeda, tampilnya demokrasi sebagai suatu unsur kebudayaan global juga tidak melenyapkan praktek politik nondemokratik, yang sebelumnya telah mendominasi suatu kebudayaan.

Perang Teluk yang lalu merupakan kasus kontemporer artikulasi antara demokrasi dan aristokrasi dalam "tata baru dunia" era pasca perang dingin saat ini. Aristokrasi di Arab Saudi dan Kuwait justru telah semakin diperkuat oleh intervensi negara-negara demokratik Barat, yang kesemuanya tak terlepas dari globalisasi proses dan praktek demokrasi di Barat sendiri dan di forum internasional seperti PBB.

Globalisasi, dengan demikian, lebih merupakan kompresi, atau proses pemanfaatan ruang interaksi antara berbagai kebudayaan nasional, yang melibatkan proses artikulasi dan pribumisasi. Proses artikulasi akan memperkuat keanekaragaman yang telah ada, dan "pribumisasi" akan menciptakan keanekaragaman baru. Proses pemamfaatan tadi pada akhirnya akan menimbulkan perbenturan antara kebudayaan-kebudayaan yang berbeda, yang semula berada dalam posisi jauh terpisah. Proses-proses pendefinisian situasi global (di bidang perdagangan internasional), lingkungan, dan sebagainya), juga akan tetap diwarnai keragaman persepsi dan kepentingan, yang karenanya tetap berpeluang pula menciptakan konflik-konflik besar.
* Dedy N. Hidayat, Staf pengajar FISIP-UI, Depok.

1 comment:

Anonymous said...

Welcome to the blogging world Mas Deddy. Jangan cuma klipping tulisan aja dong. Tulisan yang lain juga..