Dedy N Hidayat dan Kepentingan Media
KOMPAS
Media massa tidak lagi menjadi institusi yang terpisah dari kondisi sosial di sekitarnya. Kini media massa harus didudukkan selayaknya institusi ekonomi di mana informasi diolah dan disajikan sebatas sebagai komoditas dalam parameter laku-tidaknya dijual.
Menurut pakar komunikasi Universitas Indonesia (UI), Dedy Nur Hidayat, kondisi itulah yang menuntut masyarakat lebih "melek media", bersikap kritis dalam memamah informasi. Berikut petikan wawancara Kompas dengan Dedy di ruang kerjanya di kompleks UI Salemba, Selasa (11/4) siang, saat hujan begitu deras menyiram Jakarta dan menggenangi.
Bagaimana Anda melihat perkembangan media di Indonesia saat ini?
Teori media yang berkembang sekarang menjadikan media tidak lagi menjadi fokus yang utama. Kita tidak bisa mempelajari media sebagai suatu fenomena terisolir dalam konteks sosial budaya. Teori tentang media harus menjadi bagian teori yang lebih besar. Media merupakan salah satu elemen dari konfigurasi yang lebih besar. Media ada dalam triangulasi hubungan antara negara, pasar, dan civil society. Media menjadi komponen yang menjembatani hubungan segitiga itu, tapi media harus juga dilihat ujud kepentingan sendiri.
Hubungan triangulasi bisa juga diterapkan pada masa sebelumnya, tapi pada masa reformasi perimbangannya sudah berubah. Dulu hubungan itu sangat didominasi oleh negara, sekarang pasar yang lebih dominan. Civil society sekalipun sudah menonjol perannya, tapi masih belum cukup "dewasa" dan masih banyak diintervensi dan dapat dengan mudah dimanfaatkan. Banyak kelompok swadaya masyarakat hanyalah perpanjangan tangan kepentingan sosial politik atau kekuasaan. Contoh paling gamblang, ada demonstran yang dibayar. Kalau orang tidak tahu, itu dianggap sebagai penguatan civil society, padahal tidak.
Kebebasan pers tidak bisa dilihat terpisah dari kebebasan publik untuk menyampaikan pendapat. Kebebasan pers bukan hanya kebebasan orang pers untuk menyampaikan pendapat. Dominasi modal dalam industri pers merugikan publik yang tidak punya akses sebagaimana yang seharusnya dimiliki. Juga jurnalis akan dirugikan, lama- kelamaan mereka lebih banyak menempatkan diri sebagai buruh media—sekalipun tidak banyak jurnalis yang disebut sebagai buruh media.
Dengan kondisi seperti itu, bagaimana menempatkan media?
Mau tidak mau, pertama-tama media harus dilihat sebagai institusi ekonomi, institusi bisnis. Memang harus hati-hati agar tidak terjebak dalam economic determinism sehingga seolah-olah semua yang dilakukan media selalu didasari pertimbangan ekonomi. Akan tetapi, apa pun motivasi media, pada akhirnya media akan dihadapkan pada kenyataan bahwa media adalah institusi ekonomi. Mungkin saja ada media yang punya idealisme. Di sisi lain, demokratisasi politik dapat dilihat sebagai liberalisasi politik, datang satu paket dengan liberalisasi ekonomi. Di Indonesia juga begitu. Karena itu, liberalisasi politik sangat rentan terhadap kepentingan yang datang bersamaan dengan liberalisasi ekonomi tadi. Demokratisasi yang ada akan semakin banyak dimanfaatkan kelompok pemilik modal yang mampu masuk ke industri media.
Apakah artinya media akan semakin tersegmentasi, setiap kelompok kepentingan memiliki corong masing-masing?
Idealnya tidak, karena semestinya ada media yang bisa menjembatani ketiga elemen tadi. Bukan malah lahir media milik pemerintah atau media swasta. Struktur media yang ada sekarang ini tidak terlepas dari latar belakang historis dan perimbangan kekuatan di masa lalu. Pasar di industri media bukan realitas obyektif, tapi suatu konstruksi sosial yang tidak bisa lepas begitu saja dari konfigurasi masa lalu atau yang ada pada saat ini. Itu realitas yang tidak bisa kita terima begitu saja.
Kalau begitu, bengkoknya di mana?
Khususnya di era globalisasi, media lebih banyak menampilkan diri sebagai institusi ekonomi yang mencari untung dan mempergunakan kriteria ekonomi untuk mengukur kinerjanya ketika seharusnya media lebih berpijak pada kriteria kepentingan publik. Sekarang media melihat publik lebih sebagai konsumen saja yang dipilah antara mereka yang punya daya beli dan yang tidak. Segmen publik yang tidak punya nilai ekonomi tidak akan dilayani, seperti suku minoritas yang tidak akan punya akses ke media. Kelompok mayoritas untuk kepentingan yang menguntungkan bagi rating akan lebih banyak ditampilkan.
Yang jadi masalah, akses publik ke media akan ditentukan oleh faktor politik dan ekonomi. Kelompok yang tidak punya itu tidak akan banyak memperoleh akses ke media. Kalaupun masalah mereka ditampilkan ke media, itu karena masalah mereka bisa diolah dan ditampilkan sebagai komoditas. Kemiskinan dieksploitasi, dijadikan tontonan. Buruh pun kalau berdemo baik-baik tidak akan ditampilkan media. Mau tidak mau, mereka membikin keributan untuk menarik perhatian. Publik akan mencari strategi agar mendapatkan akses untuk menyuarakan kepentingan mereka.
Karena setiap media memiliki agenda tersendiri, bukankah perbenturan bakal semakin kerap terjadi?
Dalam kasus tertentu, ya. Bisa karena faktor nilai ekonomis, bisa juga politis. Namun itu wajar saja, menjadi tidak wajar jika semua media menggunakan tolok ukur yang sama. Obyektif kalau masing-masing media dengan subyektivitasnya sendiri menampilkan hal yang berbeda-beda. Jadi kalau mau mendapatkan hal yang obyektif, baca semua media. Yang menjadi masalah kalau semua media sampai pada kriteria yang sama, menetapkan hal-hal mana yang bisa atau tidak bisa ditampilkan di media. Misalnya, hal-hal yang berkaitan dengan komunisme, semua sepakat itu tidak bisa lagi diungkit-ungkit. Atau dalam masalah Timor Timur dulu, semua sepakat bahwa Timtim bagian integral NKRI dan NKRI suatu ujud final. Sementara dari sisi ekonomi, berbahaya juga jika semua punya pertimbangan ekonomi yang sama. Akhirnya yang ditampilkan hanya berita yang homogen. Contohnya, persaingan antartelevisi semakin ketat. Namun yang muncul bukan diversifikasi, malahan ada kecenderungan ke arah homogenisasi produk. Yang satu menampilkan mistik, yang lain meniru yang sama karena ada kaidah ekonomi tertentu yang mereka anut bersama. Buat apa berinvestasi pada produk inovatif tapi belum tentu laku, pakai saja formulasi yang sudah terbukti laku. Itu yang mengkhawatirkan jika tolok ukur atau ideologi semuanya sama.
Gurita dan agenda
Sebelum kini dikenal sebagai pakar komunikasi, siapa mengira bahwa Dedy adalah lulusan sebuah sekolah teknik menengah di Malang? Merantau ke Jakarta, Dedy muda sempat menjajal menjadi pegawai sebuah perusahaan kontraktor sembari merangkap belajar di SMA sebelum kemudian masuk ke UI.
Ketika banyak pakar dari UI tersedot keluar kampus, aktif di banyak lembaga dan akhirnya menjadi "selebritas" (ataupun malah sekalian terjerembab menjadi pesakitan), Dedy memilih lebih berkonsentrasi mengajar dan berkegiatan di kampus. Dedy mengaku sebagai orang "kuno" yang terlalu terikat dengan ruang dan tempat sehingga kampus Salemba benar-benar "mengikatnya" untuk tidak ke mana-mana. "Mungkin juga karena saya memang tidak mampu," kata Dedy merendah.
Bila setiap media punya kepentingan dan agenda tersendiri, bagaimana mereka berhadap-hadapan dalam sebuah isu?
Yang diharapkan, media tetap menempatkan diri sebagai media karena yang menjadi penilai akhir adalah publik. Media tidak diharapkan untuk memutuskan mana yang benar. Media punya sikap, tapi yang nantinya memutuskan adalah publik. Esensi demokratisasi media seperti itu, menampilkan alternatif sikap yang diperlukan publik untuk melakukan pilihan-pilihan. Kenapa tidak enak untuk berhadap-hadapan? Daripada berhadap-hadapan di jalanan dan clash antarpublik, lebih baik media saja yang berhadapan. Kalau sebuah media memiliki preferensi tertentu, bagaimanapun dia pasti akan memberi akses luas bagi kelompok tertentu yang sejalan.
Tuesday, May 09, 2006
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment