Presiden "Market-Friendly Dictator"
Oleh: Dedy N Hidayat
SIAPA yang menjadi pemenang pemilu presiden memang ditentukan rakyat. Namun, apa yang kemudian dijalankan sang pemenang bisa lebih ditentukan "konstituen pasar" yang tersebar di sejumlah sentra finansial global.Akibatnya, janji pemilu yang "populis" amat mungkin digantikan kebijakan yang market friendly, meski hal itu di banyak negara terbukti memerlukan represi.Skala pengaruh kekuatan pasar global sebenarnya bisa diamati dari kasus berakhirnya rezim Orde Baru. "The markets would vote with their dollars when Soeharto chooses his next economic team." Itulah peringatan Mondale, utusan Presiden Clinton, yang membujuk agar Presiden Soeharto sepenuhnya melakukan liberalisasi ekonomi, sesuai tuntutan IMF. Seorang kolumnis bahkan menerjemahkannya dalam nada ancaman sarkastis, "Install a bunch of IMF-bashing cronies and your economy will be washed into the South China Sea" (Sanger, The New York Times, 7 Maret 1998).Ketika kemudian Soeharto mengisi tim ekonomi kabinet dengan sejumlah kroni, yang dinilai akan menghambat liberalisasi ekonomi, pasar spontan memberi reaksi negatif. Rupiah kian terpuruk, saham berjatuhan, dan krisis ekonomi pun semakin berkembang menjadi krisis legitimasi politik yang terbukti fatal bagi rezim Soeharto.Namun, pengalaman Amerika Latin memperlihatkan, kekuatan pasar global tidak hanya menghakimi malpraktik ekonomi rezim authoritarian crony-capitalism seperti Orde Baru, tetapi juga kebijakan ekonomi rezim demokratis yang berorientasi pada kesejahteraan rakyat banyak sekalipun. Kekuatan pasar akan menghakimi suatu rezim yang menempuh kebijakan tak ramah pasar, baik kebijakan yang melindungi kepentingan ekonomi para kroni ataupun kebijakan yang dinilai "populis" dan tidak mendukung ekspansi global perdagangan bebas.Itu sekaligus berarti peluang dan kedaulatan pemenang suatu pemilu, untuk memenuhi janji-janjinya yang "populis", telah dibatasi kekuatan pasar global, yang elemen-elemennya ada di luar jangkauan kewenangan negaranya.Dominasi pengaruh rezim pasar global sebagian bersumber pada konglomerasi transnasional, organisasi internasional semacam WTO, atau institusi ekonomi multilateral, khususnya World Bank dan IMF. Dua lembaga terakhir itu dinilai menjalankan fungsi ideologis kepentingan liberalisasi pasar global (Wood, 1989), yang memperjuangkan kepentingan akumulasi modal, kebebasan pergerakan barang, jasa, serta modal, dan karena itu tidak hanya menentang sosialisme tetapi juga kapitalisme nasionalistis yang penuh intervensi dan proteksi negara.Program "populis"Dalam struktur ekonomi politik global saat ini, tekanan utama bersumber dari pasar finansial internasional. Ini disebabkan perubahan struktural ekonomi global pascasistem Bretton-Woods (awal 1970- an). Bila pada era 1970-an, 90 persen transaksi berkaitan dengan sektor riil dan hanya 10 persen di sektor finansial, di tahun 1990-an komposisi itu justru terbalik. Terlebih lagi, pasar finansial, dengan mobilitas modal sekitar 1,5 triliun dollar AS per hari itu, sebagian besar tak berhubungan dengan investasi jangka panjang di sektor riil, tetapi lebih sebagai investasi spekulatif, yang memiliki tingkat mobilitas global amat tinggi, memburu peluang investasi paling aman dan menguntungkan, di mana pun juga, dan betapa pun singkatnya investasi itu (Chomsky, 2000; Arrighi, 1997).Dalam struktur seperti itu, pendorong utama mobilitas modal adalah the sudden changes of hearts atau fear and greed para pemegang modal (Beeson, 1998; Borsuk, 1999). Faktor-faktor itu semua amat peka terhadap berbagai informasi; bahkan rumor pun mampu mendorong terjadinya pergerakan pasar yang negatif.Sebagai bagian struktur ekonomi global seperti itu, maka proses dan hasil pemilu di Tanah Air juga selalu menyampaikan sinyal tertentu bagi pergerakan di pasar finansial. Faktor-faktor seperti perimbangan kekuatan eksekutif- legislatif, platform dan program presiden terpilih, susunan tim ekonomi kabinet, dan akhirnya kebijakan ekonomi yang ditempuh, semua itu akan menentukan market-friendliness dan skala mobilitas modal yang diakibatkan. Perlu disimak, "...financial markets have become judge and jury of economic policy making" (Pennar, 1995).Platform dan program lima parpol terbesar pemilu legislatif 2004 memuat visi dan janji-janji yang di satu sisi "menyejukkan" massa pemilih, tetapi di sisi lain juga bisa dinilai sebagai program yang "populis", menghalangi akumulasi modal ataupun membatasi kebebasan pergerakan barang, jasa, dan uang.Sebuah parpol, yang kini memunculkan calon presiden (capres) menyatakan akan menopang perjuangan buruh, mendukung hak mogok, dan menghentikan intervensi pemerintah yang meletakkan kepentingan buruh di bawah kepentingan modal dan kekuasaan. Platform partai capres lain berisi janji memperjuangkan sistem ekonomi yang berpihak pada usaha kecil, menengah, dan koperasi. Dijumpai pula program partai yang menjanjikan proteksi impor produk pertanian, asuransi kesehatan bagi seluruh warga miskin, pendidikan gratis hingga jenjang SMU.Peluang represiMemang nada "populis" dalam platform, visi, dan program partai-partai besar, cenderung diperhalus. Platform untuk lebih berpihak pada kepentingan ekonomi kecil dan koperasi, contohnya, disertai klausul tidak akan menafikan tumbuhnya konglomerasi. Ini sejalan dengan peringatan dari sejumlah pakar ekonom liberal kita agar pemerintahan baru kelak menghindari kebijakan yang terlalu populis. Namun, pemilihan presiden juga akan membuat kampanye cenderung menonjolkan janji-janji "populis". Terlebih lagi yang diperebutkan adalah suara mayoritas warga masyarakat yang kondisi ekonominya masih memprihatinkan.Dapatkah presiden terpilih menempuh kebijakan yang "populis" dan "tidak ramah pasar" jika dihadapkan pada munculnya sanksi dan reaksi negatif pasar, khususnya pasar finansial global?Realitas ekonomi politik global mungkin memaksa presiden baru kita nanti lebih banyak memilih kebijakan yang market friendly karena semua kiprahnya kelak berlangsung di bawah hegemoni neoliberalisme. Bila itu terjadi, bukan hanya berarti pengingkaran janji kepada massa pemilih, tetapi juga merupakan kondisi yang berpotensi menjadikan sang presiden baru sebagai market-friendly dictator. Sebab, dalam konteks Dunia Ketiga, kebijakan ekonomi liberal yang market friendly sering harus didukung oleh langkah represif dari penguasa. Pengalaman Meksiko dan Cile memperlihatkan kebijakan menekan upah buruh demi menarik investor, harus didukung tindakan represif terhadap serikat buruh; kebijakan liberalisasi perdagangan untuk impor produk pertanian, harus diamankan dengan menumpas gerakan petani yang dirugikan.Dalam konteks pemilu saat ini, dambaan memperoleh presiden yang mampu menjadi strong leader, bisa bermakna ganda: presiden yang kuat menghadapi tekanan neoliberalisme global, atau yang kuat menekan rakyat korban liberalisasi ekonomi.Dedy N Hidayat Dosen Pascasarjana FISIP UI
Tuesday, May 09, 2006
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment