SKANDAL TINA DAN PRESIDEN BARU
Oleh Dedy N Hidayat
SEBUAH edisi harian ini (17/6/2004) secara tak langsung telah menyajikan executive summary prestasi liberalisasi ekonomi global yang kini juga tengah melanda negeri kita. Di sebuah halaman ditulis "Orang Kaya Sejagat Naik Menjadi 7,7 Juta", tetapi di halaman lain dilaporkan "25.000 Orang Meninggal Setiap Hari karena Kelaparan dan Kemiskinan".
KOMPAS, Senin, 02-08-2004
Itulah the world of winners and losers produk liberalisasi pasar global, yang penuh kisah sukses makro-ekonomi di satu sisi dan skandal kemanusiaan di sisi lain. Amatlah wajar bila, menjelang pemilihan umum (pemilu) presiden putaran kedua, publik mempertanyakan sejauh mana para calon presiden (capres) cenderung untuk menjalankan liberalisasi ekonomi dan mengintegrasikan Republik ini lebih dalam lagi ke pasar global.
Struktur pasar global yang ada saat ini jelas bukanlah suatu realitas alami yang tak terelakkan, melainkan sebuah konstruksi sosial yang tidak terlepas dari sejarah dominasi kepentingan sejumlah agencies atau aktor sosial. Mereka mencakup institusi (seperti IMF hingga Adam Smith Institute), pakar ekonomi (dari von Hayek hingga penganutnya di negara-negara berkembang), dan tentu para elite politik (dari Thatcher, Clinton, hingga para negarawan Dunia Ketiga). Konstituen utama proyek besar itu sekurangnya mencakup 100 entitas ekonomi terbesar dunia-yang 52 di antaranya bukan berbentuk negara, tetapi perusahaan multinasional atau transnasional (Chesney, 2001).
Konstruksi pasar global tersebut didasarkan atas doktrin bahwa demi maksimalisasi akumulasi modal dan efisiensi alokasi sumberdaya ekonomi, tidak ada alternatif lain, kecuali memperjuangkan sebesar mungkin kebebasan bagi modal, barang, dan jasa untuk bergerak ke seluruh pelosok dunia serta kemerdekaan bagi para pemodal untuk berkompetisi di mana pun di dunia, tanpa kekangan "artifisial" dari siapa pun selain kaidah-kaidah pasar yang "alami". Ketika Thatcher memulai "revolusi neoliberal" (awal 1980-an), slogan "There Is No Alternative", atau TINA, seolah menjadi pembenaran bagi Thatcherisme dan program-program swastanisasi, deregulasi, atau liberalisasi yang dilahirkannya. Kegagalan eksperimen sosialisme di blok komunis (akhir 1980-an) semakin memantapkan keyakinan para ekonom liberal pada premis TINA, sekaligus membantu ekspansi global hegemoni doktrin- doktrin neoliberalisme. Skandal kemanusiaan
Nyatanya, liberalisasi perdagangan dan investasi dunia sejauh ini telah menciptakan fenomena melebarnya kesenjangan ekonomi, di negara-negara Dunia Ketiga ataupun di Dunia Pertama. Sebuah lembaga di Washington DC, Cato Institute, melaporkan, negara-negara yang memiliki "kebebasan ekonomi" tinggi rata-rata ekonominya juga tumbuh lebih cepat. Kanada termasuk satu di antara 10 negara yang ekonominya tumbuh pesat tersebut (Economic Freedom of the World 2004, 15/7/2004). Namun, laporan itu mengabaikan data bahwa semenjak perdagangan bebas dengan Amerika Serikat diberlakukan, jumlah anak yang hidup dalam kemiskinan di Kanada, mencapai 16 juta-tertinggi di antara negara-negara industri maju (Barlow, 2001).
Sementara itu, walaupun pendapatan per kapita negara maju terus meningkat, sekitar 80 negara lain justru mengalami penurunan selama dua dekade terakhir (Shalom, 2000). Program swastanisasi di berbagai negara juga menyebabkan orang semakin sulit memenuhi kebutuhan dasar yang menjadi hak setiap warga negara. Komodifikasi air bersih, melalui swastanisasi perusahaan publik (BUMN), contohnya, akan menyebabkan dua pertiga penduduk dunia di tahun 2025 tidak punya akses memperoleh air bersih (Barlow, 2003). Di berbagai negara, swastanisasi perusahaan publik pemegang natural monopoly (seperti telekomunikasi, minyak, air, listrik, transportasi), telah mengakibatkan "kegagalan struktural" pada pasar, memunculkan monopoli ataupun oligopoli swasta yang bebas menetapkan harga tanpa disertai peningkatan mutu layanan publik (George, 1999).
Liberalisasi finansial global-ditandai membengkaknya volume investasi spekulatif yang memiliki mobilitas amat tinggi, tetapi tidak terkait dengan investasi di sektor riil-telah menjadikan negara semakin rentan terhadap spekulasi valuta dan melemahkan kedaulatan menjalankan kebijakan ekonomi. Selain itu, juga menimbulkan eksternalitas, atau dampak yang harus ditanggung pihak-pihak yang tidak terlibat transaksi dan spekulasi-seperti ditunjukkan oleh krisis ekonomi 1997-1998 di Tanah Air.
Neoliberalisme sebenarnya sarat memuat potensi untuk menciptakan skandal-skandal kemanusiaan, yakni sebagai manifestasi Social Darwinism, seolah yang berhak hidup hanyalah mereka yang mampu berpartisipasi dalam sirkuit akumulasi modal atau berhasil memanfaatkan pasar. TINA vs TIA Pelaksanaan pemilu presiden putaran pertama, telah menciptakan sentimen positif bagi pasar. Investor asing diberitakan menyerbu Bursa Efek Jakarta. Di samping nilai rupiah, indeks harga saham juga ikut meningkat cukup tajam, diwarnai lonjakan transaksi yang didominasi investor asing. Itu semua juga bisa berarti, sentimen positif tersebut muncul karena pasar menilai
para capres, khususnya yang berhasil maju ke putaran kedua, adalah figur-figur yang market friendly, dan tidak "sok berani" berspekulasi mencari alternatif baru, selain menjalankan liberalisasi dan swastanisasi, serta mengintegrasikan diri lebih jauh lagi ke dalam struktur ekonomi pasar global.
Berbagai dialog ataupun "debat" antarcapres di televisi (di mana umumnya para ekonom liberal menjadi panelis) ataupun publikasi platform dari tiap capres sejauh ini memang tidak cukup tegas memperlihatkan adanya tawaran alternatif dari para capres untuk menjawab permasalahan yang terkait dengan liberalisasi perdagangan, deregulasi pasar finansial global, ataupun swastanisasi. Publik, contohnya, perlu kejelasan dari para kandidat mengenai kebijakan swastanisasi BUMN yang selama ini telah ditempuh. Apakah para capres tertarik pada premis TIA (There Is Alternative), dan berusaha merumuskan alternatif perbaikan kinerja BUMN seperti yang ditempuh Singapura. Ataukah, justru mereka tunduk pada premis TINA-yang menilai BUMN secara intrinsik tidak efisien dan karena itu tidak ada alternatif lain, kecuali melanjutkan (atau bahkan memperluas) program swastanisasi BUMN, termasuk yang mengelola hajat hidup orang banyak sekalipun. Publik pun hanya samar- samar menangkap program apa yang akan ditempuh guna melindungi para buruh dan tani dari ancaman perdagangan bebas. Perlu kejelasan, contohnya, program para capres untuk melindungi para petani tradisional dari ancaman persaingan produk-produk raksasa agroindustri transnasional yang membanjir, seiring dengan perkembangan perdagangan bebas dunia. Dalam menghadapi masalah dan eksternalitas liberalisasi lalu lintas finansial, publik juga tidak banyak mengetahui apakah para capres menawarkan solusi alternatif, misalnya, berupa program untuk mempertautkan arus investasi spekulatif di Bursa Efek Jakarta dengan investasi langsung di sektor riel yang mampu menyerap tenaga kerja.
Ketiadaan tawaran solusi alternatif semacam itu mengesankan para capres pasrah menerima doktrin neoliberal, dan menerima unregulated lalu lintas finansial global saat ini sebagai suatu realitas "obyektif" yang tidak bisa dihindari. Faktor big money campaign-di mana porsi terbesar dana kampanye berasal dari badan-badan usaha dan pengusa- ha besar-juga memunculkan ugaan bahwa presiden baru kita kelak mengabaikan usaha menemukan alternatif baru, dan justru menempuh pilihan untuk mengintensifkan program-program liberalisasi yang menguntungkan para pengusaha besar donatur kampanye.
Saat ini, publik sendiri memang belum mempertanyakan isu-isu seputar dampak liberalisasi ekonomi. Sebab, yang berlangsung selama masa pemilu saat ini adalah fenomena bubble politics-di mana investasi dukungan suara dari pemilih terhadap seorang capres lebih banyak digelembungkan oleh politik pencitraan, bukan oleh keunggulan platform dan program. Namun, amat mungkin, setelah dampak penerapan neoliberalisme semakin dirasakan publik, "gelembung-gelembung sabun" dukungan politik akan mengempis, digantikan oleh sikap yang semakin kritis dari publik.
Itulah the world of winners and losers produk liberalisasi pasar global, yang penuh kisah sukses makro-ekonomi di satu sisi dan skandal kemanusiaan di sisi lain. Amatlah wajar bila, menjelang pemilihan umum (pemilu) presiden putaran kedua, publik mempertanyakan sejauh mana para calon presiden (capres) cenderung untuk menjalankan liberalisasi ekonomi dan mengintegrasikan Republik ini lebih dalam lagi ke pasar global.
Struktur pasar global yang ada saat ini jelas bukanlah suatu realitas alami yang tak terelakkan, melainkan sebuah konstruksi sosial yang tidak terlepas dari sejarah dominasi kepentingan sejumlah agencies atau aktor sosial. Mereka mencakup institusi (seperti IMF hingga Adam Smith Institute), pakar ekonomi (dari von Hayek hingga penganutnya di negara-negara berkembang), dan tentu para elite politik (dari Thatcher, Clinton, hingga para negarawan Dunia Ketiga). Konstituen utama proyek besar itu sekurangnya mencakup 100 entitas ekonomi terbesar dunia-yang 52 di antaranya bukan berbentuk negara, tetapi perusahaan multinasional atau transnasional (Chesney, 2001).
Konstruksi pasar global tersebut didasarkan atas doktrin bahwa demi maksimalisasi akumulasi modal dan efisiensi alokasi sumberdaya ekonomi, tidak ada alternatif lain, kecuali memperjuangkan sebesar mungkin kebebasan bagi modal, barang, dan jasa untuk bergerak ke seluruh pelosok dunia serta kemerdekaan bagi para pemodal untuk berkompetisi di mana pun di dunia, tanpa kekangan "artifisial" dari siapa pun selain kaidah-kaidah pasar yang "alami". Ketika Thatcher memulai "revolusi neoliberal" (awal 1980-an), slogan "There Is No Alternative", atau TINA, seolah menjadi pembenaran bagi Thatcherisme dan program-program swastanisasi, deregulasi, atau liberalisasi yang dilahirkannya. Kegagalan eksperimen sosialisme di blok komunis (akhir 1980-an) semakin memantapkan keyakinan para ekonom liberal pada premis TINA, sekaligus membantu ekspansi global hegemoni doktrin- doktrin neoliberalisme. Skandal kemanusiaan
Nyatanya, liberalisasi perdagangan dan investasi dunia sejauh ini telah menciptakan fenomena melebarnya kesenjangan ekonomi, di negara-negara Dunia Ketiga ataupun di Dunia Pertama. Sebuah lembaga di Washington DC, Cato Institute, melaporkan, negara-negara yang memiliki "kebebasan ekonomi" tinggi rata-rata ekonominya juga tumbuh lebih cepat. Kanada termasuk satu di antara 10 negara yang ekonominya tumbuh pesat tersebut (Economic Freedom of the World 2004, 15/7/2004). Namun, laporan itu mengabaikan data bahwa semenjak perdagangan bebas dengan Amerika Serikat diberlakukan, jumlah anak yang hidup dalam kemiskinan di Kanada, mencapai 16 juta-tertinggi di antara negara-negara industri maju (Barlow, 2001).
Sementara itu, walaupun pendapatan per kapita negara maju terus meningkat, sekitar 80 negara lain justru mengalami penurunan selama dua dekade terakhir (Shalom, 2000). Program swastanisasi di berbagai negara juga menyebabkan orang semakin sulit memenuhi kebutuhan dasar yang menjadi hak setiap warga negara. Komodifikasi air bersih, melalui swastanisasi perusahaan publik (BUMN), contohnya, akan menyebabkan dua pertiga penduduk dunia di tahun 2025 tidak punya akses memperoleh air bersih (Barlow, 2003). Di berbagai negara, swastanisasi perusahaan publik pemegang natural monopoly (seperti telekomunikasi, minyak, air, listrik, transportasi), telah mengakibatkan "kegagalan struktural" pada pasar, memunculkan monopoli ataupun oligopoli swasta yang bebas menetapkan harga tanpa disertai peningkatan mutu layanan publik (George, 1999).
Liberalisasi finansial global-ditandai membengkaknya volume investasi spekulatif yang memiliki mobilitas amat tinggi, tetapi tidak terkait dengan investasi di sektor riil-telah menjadikan negara semakin rentan terhadap spekulasi valuta dan melemahkan kedaulatan menjalankan kebijakan ekonomi. Selain itu, juga menimbulkan eksternalitas, atau dampak yang harus ditanggung pihak-pihak yang tidak terlibat transaksi dan spekulasi-seperti ditunjukkan oleh krisis ekonomi 1997-1998 di Tanah Air.
Neoliberalisme sebenarnya sarat memuat potensi untuk menciptakan skandal-skandal kemanusiaan, yakni sebagai manifestasi Social Darwinism, seolah yang berhak hidup hanyalah mereka yang mampu berpartisipasi dalam sirkuit akumulasi modal atau berhasil memanfaatkan pasar. TINA vs TIA Pelaksanaan pemilu presiden putaran pertama, telah menciptakan sentimen positif bagi pasar. Investor asing diberitakan menyerbu Bursa Efek Jakarta. Di samping nilai rupiah, indeks harga saham juga ikut meningkat cukup tajam, diwarnai lonjakan transaksi yang didominasi investor asing. Itu semua juga bisa berarti, sentimen positif tersebut muncul karena pasar menilai
para capres, khususnya yang berhasil maju ke putaran kedua, adalah figur-figur yang market friendly, dan tidak "sok berani" berspekulasi mencari alternatif baru, selain menjalankan liberalisasi dan swastanisasi, serta mengintegrasikan diri lebih jauh lagi ke dalam struktur ekonomi pasar global.
Berbagai dialog ataupun "debat" antarcapres di televisi (di mana umumnya para ekonom liberal menjadi panelis) ataupun publikasi platform dari tiap capres sejauh ini memang tidak cukup tegas memperlihatkan adanya tawaran alternatif dari para capres untuk menjawab permasalahan yang terkait dengan liberalisasi perdagangan, deregulasi pasar finansial global, ataupun swastanisasi. Publik, contohnya, perlu kejelasan dari para kandidat mengenai kebijakan swastanisasi BUMN yang selama ini telah ditempuh. Apakah para capres tertarik pada premis TIA (There Is Alternative), dan berusaha merumuskan alternatif perbaikan kinerja BUMN seperti yang ditempuh Singapura. Ataukah, justru mereka tunduk pada premis TINA-yang menilai BUMN secara intrinsik tidak efisien dan karena itu tidak ada alternatif lain, kecuali melanjutkan (atau bahkan memperluas) program swastanisasi BUMN, termasuk yang mengelola hajat hidup orang banyak sekalipun. Publik pun hanya samar- samar menangkap program apa yang akan ditempuh guna melindungi para buruh dan tani dari ancaman perdagangan bebas. Perlu kejelasan, contohnya, program para capres untuk melindungi para petani tradisional dari ancaman persaingan produk-produk raksasa agroindustri transnasional yang membanjir, seiring dengan perkembangan perdagangan bebas dunia. Dalam menghadapi masalah dan eksternalitas liberalisasi lalu lintas finansial, publik juga tidak banyak mengetahui apakah para capres menawarkan solusi alternatif, misalnya, berupa program untuk mempertautkan arus investasi spekulatif di Bursa Efek Jakarta dengan investasi langsung di sektor riel yang mampu menyerap tenaga kerja.
Ketiadaan tawaran solusi alternatif semacam itu mengesankan para capres pasrah menerima doktrin neoliberal, dan menerima unregulated lalu lintas finansial global saat ini sebagai suatu realitas "obyektif" yang tidak bisa dihindari. Faktor big money campaign-di mana porsi terbesar dana kampanye berasal dari badan-badan usaha dan pengusa- ha besar-juga memunculkan ugaan bahwa presiden baru kita kelak mengabaikan usaha menemukan alternatif baru, dan justru menempuh pilihan untuk mengintensifkan program-program liberalisasi yang menguntungkan para pengusaha besar donatur kampanye.
Saat ini, publik sendiri memang belum mempertanyakan isu-isu seputar dampak liberalisasi ekonomi. Sebab, yang berlangsung selama masa pemilu saat ini adalah fenomena bubble politics-di mana investasi dukungan suara dari pemilih terhadap seorang capres lebih banyak digelembungkan oleh politik pencitraan, bukan oleh keunggulan platform dan program. Namun, amat mungkin, setelah dampak penerapan neoliberalisme semakin dirasakan publik, "gelembung-gelembung sabun" dukungan politik akan mengempis, digantikan oleh sikap yang semakin kritis dari publik.
Dedy N HidayatDosen Pascasarjana Ilmu Komunikasi FISIP-UI
1 comment:
Keren sob
www.kiostiket.com
Post a Comment