Tuesday, May 09, 2006

Amerikanisasi Industri Kampanye Pemilu

Oleh: Dedy N Hidayat

GELOMBANG demokratisasi yang melanda Indonesia dan negara lain di dunia ternyata telah menciptakan pasar yang amat menjanjikan bagi para konsultan kampanye. The third wave of democratization itu juga dimanfaatkan para electioneer-atau konsultan kampanye profesional dari Amerika-untuk melakukan ekspansi global, mengekspor jasa konsultasi strategi, taktik, dan teknik pemenangan pemilu ke berbagai negara demokrasi baru. Namun, kontribusi industri kampanye pemilu bagi peningkatan kualitas demokrasi harus terus dipertanyakan.
Di Tanah Air, benih-benih tumbuhnya industri kampanye pemilu, atau bisnis the selling of the president, kini kian jelas. Berpuluh mahasiswa dan sarjana ilmu komunikasi sebuah perguruan tinggi negeri telah direkrut sebagai tenaga profesional nonpartisan dalam berbagai tim kampanye partai politik, calon presiden, atau calon anggota legislatif. Sejumlah agen periklanan dan kehumasan (domestik dan asing) juga telah menerima kontrak pelaksanaan kampanye.
Selain itu, beberapa electioneer dari mancanegara pun kini sedang bekerja untuk kontestan yang mampu membayar sesuai tarif dollar yang ditawarkan. Kelompok electioneer profesional dari dalam maupun luar negeri itulah yang kini sebenarnya berperan sebagai elite kekuasaan baru dalam proses mengonstruksi salah satu elemen penting budaya berdemokrasi di Tanah Air.
Pengaruh tumbuhnya industri kampanye atas kultur berdemokrasi di Tanah Air lebih lanjut akan ditentukan oleh sejumlah kecenderungan global dalam kampanye pemilu. Kecenderungan pertama, peran televisi dalam kampanye kian meningkat: aktivitas berkampanye kian banyak direkayasa dan dikemas agar sesuai format televisi; porsi dana kampanye untuk iklan politik di televisi pun juga terus meningkat.
Bila selama era 1970-an hanya empat negara yang mengizinkan iklan politik di televisi (Amerika Serikat, Kanada, Australia, dan Jepang), pada akhir 1990-an sekitar 50 negara mengizinkan penggunaan ranah publik itu bagi iklan politik (Plasser, 2001). Debat di televisi antarkontestan juga kian menjadi faktor penting (Coleman, 2000). Dari jumlah, selama 1970-1999, negara yang menyelenggarakan debat televisi meningkat dari 10 menjadi sekitar 35 (Plasser, 2001).
Kecenderungan global itu memperkaya gaya kampanye yang selama ini dominan di Dunia Ketiga, yang menonjolkan pawai massa, apel akbar, dan bentuk-bentuk pengerahan massa lainnya. Atau memberi corak baru terhadap gaya kampanye di Inggris dan sejumlah negara Eropa Barat yang secara tradisional lebih mendasarkan diri pada pendekatan akar rumput.
Kecenderungan global kedua, kian meningkatnya keterlibatan para electioneer profesional dari luar partai (Thurber dan Nelson, 2000), dan itu semakin menggeser peran para "amatir" dari kalangan kader partai sendiri (Johnson, 2000). Kecenderungan ketiga, kian terfokusnya kampanye pada individu kandidat atau tokoh wakil partai. Hal ini membuat pemilu seolah kontes antarindividu, bukan lagi antarpartai (Mughan, 2000).
Dasi dan citra
Kecenderungan global itu semua bermuara pada praktik kampanye di Amerika, yang diakui sebagai the international role model of campaigning (Scammel, 1998), dan selalu menyajikan the cutting edge of electioneering innovation (Blumler et al, 1996). Pemilu di Amerika sendiri telah lama menjadi sebuah industri besar, diperebutkan oleh ribuan electioneer profesional serta lembaga jasa konsultasi, dan rata-rata membelanjakan dana sekitar enam miliar dollar AS per tahun pada masa pemilu (Plasser, 2001), atau sekitar tiga kali anggaran Pemerintah Indonesia selama tahun 2003.
Ekspansi global industri jasa kampanye juga didorong banyaknya kontestan, termasuk dari Indonesia, yang membutuhkan polesan jasa para electioneer Amerika. Hasil survei Global Political Consultancy (Plasser, 2000) memperlihatkan, dari semua konsultan kampanye berwarga negara Amerika, hampir seperempat di antaranya (23 persen) pernah atau tengah bekerja sebagai spesialis kampanye di satu negara tertentu di luar Amerika, dan 15 persen lain tergolong super electioneer dengan bidang spesialisasi kampanye di dua atau lebih negara.
Lembaga penyedia "jasa demokratisasi" maupun donor seperti National Endowment for Democracy (NED), Soros Foundation, International Republican Institute (IRI) juga amat berperan dalam "Amerikanisasi" global praktik kampanye, antara lain melalui program-program untuk mendatangkan konsultan dari Amerika (bagi partai-partai tertentu).
Lingkup kerja para electioneer dalam industri kampanye di negara-negara demokrasi baru bisa mencakup penentuan teknik, taktik, atau strategi pemenangan pemilu bagi rekanan mereka. Dalam tataran teknik, mereka terlibat penentuan pakaian dan dasi, serta pemilihan slogan-slogan yang akan dibawakan kontestan (Lasota, 1999), atau pembuatan iklan politik dan materi kampanye lain, pendekatan ke media, penyiapan penampilan kontestan di media, pemilihan media dan penentuan target kampanye.
Mereka juga berperan dalam penentuan dan pelaksanaan taktik kampanye tertentu. Salah satu yang beberapa tahun terakhir ini banyak dijalankan adalah taktik deliberate priming (Farrel, Kolodny, Medvic, 2001). Dalam taktik ini, para electioneer pada intinya melakukan tiga hal utama.
Pertama, menentukan isu-isu yang dinilai penting oleh segmen calon pemilih (biasanya berdasar jajak pendapat). Kedua, membuat analisis penentuan isu yang paling menguntungkan individu kontestan dan mengabaikan isu-isu persoalan lain (meski itu dalam platform partai merupakan isu sentral sekalipun). Ketiga, merekayasa citra kontestan sesuai isu persoalan yang dipilih, merancang pesan dan simbol yang diperlukan, serta merencanakan pemanfaatan media, semuanya untuk mengusahakan agar calon pemilih terfokus pada isu yang telah dilekatkan pada kontestan.
Strategi kampanye yang diterapkan para electioneer bisa beragam, namun umumnya diawali dengan analisis positioning, atau analisis "posisi pasar" partai atau kontestan, yang hasilnya kemudian dipergunakan untuk menentukan langkah strategis selanjutnya. Kontestan yang menempati posisi pasar sebagai nicher (unggul di segmen pemilih tertentu), contohnya, akan menerapkan langkah- langkah strategis hingga taktik serta teknik kampanye yang berbeda dengan kontestan yang menempati posisi sebagai market leader, challenger, dan sebagainya (Collins dan Butler, 1996).
Mengemas politisi busuk
Penerapan ilmu para electioneer mancanegara dalam konteks situasi dan budaya politik yang berbeda, seperti Indonesia, jelas belum tentu efektif. Karena itu pasti akan memperoleh modifikasi penyesuaian. Tetapi yang lebih penting diamati adalah kontribusi semua teknik, taktik, dan strategi yang diimpor dari mancanegara itu bagi peningkatan kualitas demokrasi.
Dari satu sisi, impor teknik, taktik, dan strategi mungkin akan banyak membantu mengurangi budaya kampanye yang mengeksploitasi sentimen primordial, mengandalkan pengerahan kekuatan fisik massa, dan sering kali berdarah-darah. Namun, di sisi lain, industrialisasi kampanye pemilu dikhawatirkan akan menurunkan kualitas pemilu dalam sebuah demokrasi. Industrialisasi kampanye pemilu dinilai telah menciptakan budaya kampanye berbiaya tinggi ke berbagai negara yang tidak mampu (Ottaway dan Chung, 1999) sehingga hanya menguntungkan kontestan berkocek tebal.
Ketika dua top electioneer Amerika (Arthur Finkelstein dan James Carville, mantan konsultan kampanye Bill Clinton, 1992) saling berhadapan dalam pemilihan Perdana Menteri Israel 1999 (antara Barak dan Netanyahu), kampanye yang berlangsung digambarkan sebagai duel yang lebih menghargai penyederhanaan atas suatu kompleksitas persoalan lebih mementingkan lontaran kejutan daripada substansi isu masalah, dan meletakkan kemenangan pada hari pemilihan di atas hal apa pun lainnya (Nagourney, 1999).
Industri kampanye pemilu juga bisa mengarah pada kondisi di mana rekayasa citra individu kontestan yang dihasilkan para electioneer, atau pesona selebriti yang dimiliki aktor macho semacam Arnold Schwarzenegger dan Ronald Reagan, menjadi lebih penting daripada platform dan isu yang diperjuangkan partai. "Politisi busuk" bisa dipasarkan dalam kemasan seorang pahlawan dari masa lalu yang tidak berhubungan sama sekali dengan masalah masa kini. Semuanya dimungkinkan oleh penerapan strategi, taktik, dan teknik komunikasi pemasaran yang sistematis dan rasional.
Itulah irasionalitas sebuah rasionalitas. Pemilu mungkin bukan lagi masalah pilihan antara hidup dan mati, namun di sisi lain mungkin hanya akan menjadi sekadar persoalan memilih minuman ringan: Coca Cola atau Pepsi?
Dedy N Hidayat Pengajar Pascasarjana FISIP UI

No comments: