Tuesday, May 09, 2006

"Kompas" Mencari Kompas

Oleh: Dedy N Hidayat

Tentu muncul segmen pembaca yang mendukung perubahan harian Kompas, dan ada pula yang keberatan. Tetapi lebih adil bila kita melihat Kompas sebagai wujud dalam never ending process of becoming. Sebab, Kompas harus terus terbit menembus era yang berbeda-beda.
Namun, masalah yang perlu dijawab adalah adakah ”revolusi” dalam ”revolusi” yang kemarin dimulai Kompas? Adakah perubahan dalam perubahan itu sendiri? Apakah perubahan yang dilakukan Kompas berbeda dengan yang dilakukan koran lain di segmen pasar yang dimasuki Kompas?
Segmen tertentu
Untuk segmen tertentu pembaca Kompas, sebagian identitas sosial mereka telah lekat dengan harian ini. ”I am what I read” kata seorang guru besar pelanggan Kompas. Bagi segmen itu, Kompas telah menjadi simbol yang dipakai mendefinisikan keberadaan sosial mereka; sekaligus suatu kontinuitas asupan definisi realitas yang menjadi kompas dalam proses transformasi konsep diri dan melakukan mobilitas sosial simbolik. Namun, kemarin pagi, identitas, simbol, dan kompas itu seolah telah digantikan oleh sesuatu yang lain.
Konsepsi sebagai pihak yang mampu menahan diri, mengetengahkan moderasi sikap, bertutur high context penuh kedalaman, misalnya, amat mungkin merupakan konsepsi diri yang ingin dibentuk oleh segmen publik tertentu dengan menggunakan harian ini sebagai simbol dan kompas. Karena itulah, tampilan Kompas baru, mungkin tidak sepenuhnya sesuai konsepsi diri segmen pembaca yang telah telanjur dikaitkan dengan ”Kompas lama”.
Penempatan sebuah media sebagai simbol dan kompas semacam itu tidak hanya berkaitan dengan kebijakan isi, tetapi juga dengan tampilan tata letak dan visualisasi yang diterapkan. Tampilan Kompas yang warna-warni bisa melekatkan konsepsi yang ngepop, berbeda dengan tampilan serba hitam putih gaya ”Kompas lama” yang sering dikesankan konservatif, klasik, dan elegan. Ruang yang dipersempit, ulasan yang diperpendek, tata letak yang terstruktur ketat mungkin bisa menciptakan kesan pendangkalan, adanya kekangan struktural terhadap inisiatif individu jurnalis.
Namun semua kesan dan penilaian tersebut memang tidak sepenuhnya absah. Sebab, itu semua diberikan oleh pembaca dalam kategori ”tradisional”, yang terikat dengan kebiasaan masa lalu, terbiasa ”menginterogasi” teks-teks panjang, menikmati kedalaman suatu analisis, dan nyaman dengan moderasi sebuah penampilan.
Penilaian yang berbeda pasti akan diberikan oleh generasi modern, yang selera informasi serta pola penyerapan informasi mereka telah banyak terstruktur oleh pola audiovisual televisi, atau kebiasaan quick browsing internet, dan preferensi untuk hanya mencari petunjuk navigasi, pointers, highlights, cut outs, sebagai bekal mendalami sendiri suatu informasi.
Generasi pembaca ”tradisional” adalah pasar yang lambat laun akan hilang. Sekurangnya mereka terpaksa menyesuaikan diri dengan karakteristik industri media yang kian dominan dibentuk oleh televisi, internet, serta berbagai media berbasis teknologi tinggi, lengkap beserta gaya hidup yang datang satu paket bersamanya.
Karena itu, perubahan penampilan Kompas sebetulnya merupakan langkah market leader di pasar tradisional untuk memosisikan diri di pasar modern yang berangsur akan diisi sepenuhnya oleh konsumen dengan tuntutan baru. Lebih dari itu garis batas wilayah pasar tradisional itu sendiri semakin tidak bisa terpisahkan satu sama lain, dengan munculnya integrasi horizontal antara televisi, surat kabar, internet, dan sebagainya.
Persoalannya adalah bagaimana market leader di pasar tradisional mampu memastikan diri untuk tetap menjadi market leader di pasar modern seperti itu? Karena itu, cukup relevan untuk mempertanyakan: apakah perubahan yang dilakukan Kompas berbeda dan lebih bagus dibandingkan dengan yang dilakukan pemain pasar lainnya?
Untuk itu, salah satu masalah bagi harian ini adalah bagaimana resizing, redesigning, dan restructuring yang ditempuh tetap menjadikan harian ini berpenampilan elegan, klasik, tetap memiliki kedalaman kualitas sebagai quality newspaper—kualitas yang selama ini telah menempatkan Kompas menjadi market leader dalam ”pasar tradisional”.
Kebijakan resizing, contohnya, mendorong penyajian isi yang serba ringkas, berpotensi mengurangi kedalaman. Salah satu hal teknis yang bisa dicoba adalah menyajikan berita sebagai sandwich, memenggal berita sebagai satuan-satuan berita ringkas yang mandiri, yang masing-masing mudah dicerna. Resizing sering kali juga membatasi ruang gerak individual para jurnalis untuk mengekspresikan potensi kepakaran mereka. Analisis yang mereka sajikan cenderung menjadi sekadar ”berita tentang pendapat pakar”.
Oleh karena itu, selalu perlu diusahakan lahirnya jurnalis-jurnalis yang mampu menjadi pakar dalam bidang-bidang yang mereka minati, dan mampu menyajikan analisis otentik mereka sendiri dengan byline.
Namun, inti utama dari kesemuanya adalah perlunya sebuah kompas guna menemukan formula melakukan ”revolusi” dalam melakukan ”revolusi” yang telah dimulai Kompas.
Dedy N Hidayat Dosen Pascasarjana Komunikasi FISIP UI

No comments: