Tuesday, May 09, 2006

Presiden Baru dan Isu "Deppen"

Oleh Dedy N Hidayat


PEMILIHAN presiden langsung merupakan salah satu tonggak pencapaian penting dalam proses demokratisasi. Namun, dalam kampanye pemilihan langsung itu, hingga kini publik belum sepenuhnya mengetahui komitmen para kandidat dalam melestarikan pencapaian-pencapaian reformasi lain, seperti penghapusan Departemen Penerangan.
Seorang calon presiden (capres) dalam sebuah kesempatan baru-baru ini bahkan menyatakan keinginannya untuk menghidupkan kembali Departemen Penerangan (Deppen). Alasannya, antara lain karena pers selama ini dinilai telah "kebablasan". Pernyataan itu cukup menggelisahkan kalangan publik. Terlebih, itu dikemukakan di tengah beredarnya informasi rencana DPR-dalam sisa masa kerjanya-untuk membahas sebuah Rancangan Undang-Undang, yang isinya diduga bisa membuka peluang dihidupkannya kembali Deppen atau departemen dengan nama lain sebagai reinkarnasi Deppen era Orde Baru (Orba).
Komitmen para capres untuk tidak menghidupkan kembali lembaga semacam Deppen amat perlu diketahui publik, khususnya agar publik bisa lebih lengkap menilai kualitas reformis dari masing- masing capres. Seperti secara luas telah dipahami publik, penghapusan Deppen, bersama dengan ketentuan yang menjamin kebebasan berserikat dan mendirikan partai, pemisahan Polri dan TNI, penghapusan Fraksi TNI/Polri di DPR/MPR, otonomi daerah, dan sejumlah lainnya merupakan tonggak pencapaian penting dalam proses demokratisasi era pascarezim otoritarian Orba.
Arti penting penghapusan Deppen dalam proses demokratisasi juga berkaitan dengan kenyataan bahwa eksistensi lembaga semacam itu merupakan salah satu ciri khas yang hanya dimiliki rezim-rezim totaliter atau otoriter. Ciri itulah yang membedakan dengan rezim-rezim politik demokratis. Hampir semua rezim fasis atau rezim komunis memiliki semacam Deppen, yang sering tidak sekadar berfungsi sebagai ideological state apparatus atau alat propaganda dan agitasi penguasa, tetapi sekaligus berperan sebagai bagian integral repressive state apparatus atau instrumen represif rezim penguasa, khususnya guna mengontrol pers, menentukan hidup matinya pers.
Antara pasar dan istana
Dari segi kepentingan publik, kebebasan pers merupakan elemen penting bagi kebebasan publik guna memperoleh informasi dan menyatakan pendapat melalui suatu public sphere atau suatu "ruang publik" di mana tiap unsur publik (atau civil society), dalam posisi sejajar, bisa melakukan diskursus rasional mengenai masalah-masalah yang menyangkut kepentingan bersama mereka, tanpa terdistorsi intervensi kepentingan penguasa (baca: state) atau penetrasi kepentingan pasar (economic society).
Konsep public sphere merupakan suatu konsepsi ideal atau penggambaran suatu ideal communication situation yang oleh banyak pihak sering dipertanyakan validitas historisnya. Namun, seperti konsepsi "masyarakat Pancasilais", sekurangnya konsepsi public sphere bisa dijadikan acuan normatif untuk mengukur sejauh mana proses demokratisasi telah berhasil terselenggara di suatu masyarakat.
Berbagai transformasi struktural sering menempatkan pers tak lagi mampu berperan sebagai suatu public sphere. Di satu sisi, khususnya masa Orba, rezim penguasa berusaha menempatkan pers sebagai instrumen politik (atau dalam istilah Orba "partner pembangunan", dan dalam jargon Orde Lama "alat revolusi").
Di sisi lain, terutama era pasca-Orba, pers cenderung lebih berperan sebagai institusi ekonomi yang didominasi logika sirkuit kepentingan akumulasi modal. Dominasi logika itulah yang menciptakan tatanan persaingan pasar (market structure), di mana institusi pers menerapkan segala strategi pasar (market conducts) untuk menjadikan hampir semua isu atau peristiwa sebagai komoditas informasi dan hiburan. Semuanya demi maksimalisasi rating dan pemasukan iklan (yang kian dinilai sebagai satu-satunya ukuran market performance mereka).
Oleh karena itu, sebuah kajian demokratisasi, dalam konteks konstelasi segitiga antara civil society-state-market, menilai likuidasi lembaga semacam Deppen sebagai langkah strategis bagi kepentingan publik. Terutama sekali guna menciptakan public sphere yang terbebas dari intervensi kepentingan penguasa, di mana di dalamnya pers mampu menempatkan diri sebagai forum publik, bukan instrumen propaganda rezim yang tengah berkuasa. Sementara itu, lahirnya UU Penyiaran dan lembaga semacam Komisi Penyiaran yang independen bisa dilihat sebagai langkah awal untuk mencegah agar public sphere yang ada tidak terlalu sarat memuat kepentingan akumulasi modal, di mana pers hanya berfungsi sebagai institusi ekonomi belaka.
Dengan kata lain, penghapusan Deppen di satu sisi, dan dibentuknya lembaga-lembaga regulasi independen di sisi lain, bisa ditempatkan sebagai bagian upaya strategis untuk menciptakan public sphere yang relatif terbebas dari state regulation yang melayani kepentingan penguasa, tanpa harus terjebak market regulation di mana segala sesuatunya diserahkan kepada mekanisme serta pelaku pasar. Karakteristik public sphere yang seperti itu akhirnya merupakan acuan untuk menilai kualitas civil society dalam sebuah sistem politik demokrasi.
Dari sudut pandang itulah, publik berhak mengetahui komitmen capres untuk tidak menghidupkan kembali Deppen.
Era "media presidency"
Mengamati hubungan antara pers dan capres saat ini, kita bisa menangkap sinyal tumbuhnya niat untuk "mengontrol" pers. Niat itu mungkin justru dimunculkan ketidakmampuan untuk menghadapi atau menggunakan pers seperti yang dikehendaki. Beberapa rekan jurnalis merasa diancam, oleh tim sukses capres, karena liputan yang mereka nilai merugikan citra capres unggulannya. Dalam kasus lain, seorang capres menampakkan kemarahannya saat wawancara dalam sebuah acara televisi. Sang capres beberapa kali mengecam pers telah berlaku tidak adil dan sering "memelintir" fakta mengenai dirinya.
"Kegeraman" terhadap pers semacam itu bisa memicu keinginan mengambil jalan pintas dengan menghidupkan kembali lembaga represif semacam Deppen bila kelak salah satu di antara mereka memenangi pemilu. Sebenarnya, yang penting disadari seorang presiden atau capres, suka atau tidak, kita kini telah memasuki era media presidency, suatu era kehidupan politik di mana otoritas kepresidenan amat ditentukan oleh kemampuan presiden dalam mengelola opini publik, melalui penerapan manajemen komunikasi antara istana dan pers. Sebab, kini hampir sebagian besar proses politik sebenarnya merupakan mediated politics atau bahkan media-driven politics (Bennet dan Entman, 2001).
Fungsi penghubung antara presiden dan masyarakat kian banyak diambil alih pers dari tangan partai dan kelompok-kelompok politik lain. Proses memproduksi dan mereproduksi sumber daya politik-seperti dukungan masyarakat terhadap kebijakan presiden, citra kinerja presiden, dan legitimasi politik presiden-kian dominan dijembatani, bahkan dikemudikan, oleh sebuah kelompok elite politik baru yang sering disebut "Mat Kodak" atau "kuli tinta".
Oleh karena itu, daripada menempuh alternatif menghidupkan kembali ideological state apparatus atau repressive state apparatus lebih cerdas bila presiden baru kita kelak membangun sebuah tim manajemen komunikasi yang profesional dan mampu beradaptasi dengan dinamika hubungan antara istana dan para "kuli tinta".
Dedy N Hidayat Dosen Pascasarjana FISIP-UI

No comments: