Thursday, May 18, 2006

Media, Sang Penabuh Genderang Perang
* Dedy N Hidayat


KOMPAS, Minggu, 30 September 2001

Seperti pada masa Perang Teluk 1990, dalam tragedi 11 September 2001 media massa di berbagai belahan dunia kembali dituduh telah ikut menabuh genderang perang. Harian New York Post contohnya, menulis bahwa respons yang harus diambil Amerika Serikat (AS) terhadap the unimaginable 21st century Pearl Harbor sebenarnya cukup sederhana: A gunshot ... between the eyes, blow them to smithereens, poison them if you have to ... As for cities or countries that host these worms, bomb them into basketball courts. (Steve Dunleahy, The Man They Call Mr. Blood and Guts, New York Post, 12 September 2001).Bahkan majalah berita sekaliber Far Eastern Economic Review, dalam editorialnya telah mengesampingkan alternatif penyelesaian hukum ataupun diplomatik terhadap tragedi tersebut: Legalism is not an Issue: In Asia as well as in the United States, some are advising that America should not strike back until full evidence is accumulated. The reasonableness camp again is mistaken. The attacks must be understood as acts of war, and in war there is no time to gather evidence to a level sufficient for a court. (No Time to be Reasonable, Far Eastern Economic Review; HYPERLINK http:// ww.feer.com/2001/0109_27.


Sementara itu, di belahan dunia lain, termasuk Indonesia, genderang perang juga ditabuh berbagai media, berisi tidak saja kecaman terhadap arogansi dan kesewenangan Amerika, tetapi juga seruan jihad bila Amerika menyerang Afganistan. Memang isi yang seperti itu terbatas pada sejumlah media, dan umumnya juga pada bagian opini atau editorial. Sebagian besar media, di AS ataupun di Tanah Air, tetap mempertahankan prinsip jurnalistik, yang antara lain memisahkan fakta dari opini dan emosi mereka sendiri. Eksekutif Produser jaringan televisi ABC, Shelley Ross, contohnya, mengemukakan bahwa pada pagi yang tragis itu ia beserta segenap awak liputan memang bekerja sambil menangis; namun, itu tidak berarti tumpahan perasaan mereka bisa mempengaruhi begitu saja apa yang ditayangkan "...we're thinking like journalists. But we're not robots. We work and we cry. We just keep a box of Kleenex ... We've shed a lot of tears in our control room, but it doesn't mean that any tears get in the way" ( "Meeting the Chalenge". American Journalism Review, Sept 25; HYPERLINK "http://ajr.newslink.org).

Fakta dan realitas simbolik
Namun, fakta bukanlah suatu kebenaran objektif. Suatu produk berita, meskipun sepenuhnya didasarkan fakta, hanya akan mampu menyajikan suatu realitas simbolik, yang tidak identik dengan realitas objektif (kalaupun ini ada) tentang tragedi 11 September. Selalu ada masalah faktualitas (factuality) dan impartialitas (impartiality) seputar fakta yang digunakan media dalam memproduksi realitas simbolik peristiwa tersebut. Dari segi faktualitas, meskipun realitas simbolik sepenuhnya didasarkan atas fakta, namun kesemuanya tidak akan pernah lengkap, dan sering kali juga tidak akurat. Selain itu, fakta yang disajikan juga bisa mengundang masalah seputar relevansi. Bagi media di AS umumnya, fakta bahwa semua tersangka pelaku berasal dari etnis Arab, dan beragama Islam, dianggap relevan untuk disertakan; namun, bagi pihak lain mungkin fakta tersebut tidak relevan dan tendensius. Relevansi suatu fakta jelas ditentukan oleh perspektif yang digunakan media untuk mendefinisikan suatu peristiwa; dan perspektif tersebut bisa sepenuhnya bersumber pada faktor individual, tetapi bisa pula terkait dengan faktor struktural, seperti posisi suatu media dalam suatu struktur industri media.
Dari segi impartialitas, fakta yang digunakan memproduksi suatu realitas simbolik, yang bisa terdiri atas opini figur-figur terkait, mungkin pula disajikan secara tidak berimbang, di mana fakta tertentu lebih ditonjolkan (diletakkan sebagai berita utama, atau ditayangkan lebih lama dan diulang-ulang), kemudian dievaluasi berdasarkan opini para pakar dengan komposisi tidak berimbang. Dalam rangkaian peristiwa 11 September, penonjolan (ataupun penghindaran) fakta bahwa Presiden AS mempergunakan kata crusade (perang salib), atau fakta bahwa Perdana Menteri Italia menyatakan "peradaban Barat lebih superior", bisa mempengaruhi impartialitas informasi yang diproduksi media.
Demikian pula penonjolan ataupun penghindaran fakta adanya kelompok Mujahidin di utara Afganistan yang justru menghendaki penyerangan terhadap kelompok Taliban.
Di luar masalah faktualitas dan impartialitas, fakta-fakta seputar peristiwa 11 September itu pun bisa dirangkai sebagai paket (media package) yang pada intinya terbentuk oleh apa yang disebut frames, atau suatu central organizing ideas, melalui ke-ajeg-an media dalam melakukan pilihan, penonjolan, dan penghindaran simbol-simbol bahasa atau konsep tertentu (Gitlin, 1980).
Suatu frames terdiri atas framing devices yang berfungsi mengarahkan individu untuk mendefinisikan apa yang "sebenarnya" menjadi isu di balik rangkaian fakta, serta reasoning devices yang berperan memandu penentuan sikap dan tindakan (Gamson dan Lasch, 1983).
Dalam kasus peristiwa 11 September, kita bisa mengetahui framing devices suatu media lewat ke-ajeg-an penggunaan berbagai metafor, visualisasi, dan exemplar (antara lain peristiwa Pearl Harbor, yang dijadikan contoh sejarah untuk menempatkan aksi teroris 11 September). Sementara itu, reasoning devices suatu media bisa dideteksi melalui analisis sebab akibat, serta imbauan atau klaim moral yang diketengahkan media.
Konspirasi atau struktur?
Adanya masalah-masalah faktualitas dan impartialitas, serta berbagai frames yang dipergunakan media untuk merangkai fakta-fakta seputar tragedi 11 September, telah menyebabkan media kini dituduh sebagai penabuh genderang perang, seperti halnya pada masa Perang Teluk satu dasawarsa yang lalu.
Ketika itu media Amerika dinilai telah memecut histeria perang, dan mempromosikan solusi militer terhadap krisis yang terjadi di Teluk Persia. Ketika akhirnya militer AS dikirim ke wilayah krisis, media memberi sambutan positif. Selama berminggu-minggu wacana media di AS mengesampingkan suara yang menentang ataupun mengkhawatirkan konsekuensi aksi militer; isi media didominasi berita dan komentar yang mendukung kebijakan militer AS, menjadikan media seolah alat propaganda (Kellner, 1992).
Sejumlah analisis mengaitkan realitas simbolik yang diproduksi media AS selama Perang Teluk itu dengan semakin menguatnya korporasi-korporasi besar di negara adikuasa itu.
Selama era pemerintahan Presiden Reagan, dan Presiden Bush, deregulasi industri media telah memungkinkan sejumlah konglomerasi mengambil alih atau melakukan merger dengan sejumlah media dan jaringan televisi.
Time Inc contohnya, merger dengan Warner Communication Inc, kemudian jaringan televisi ABC dengan Capital Cities Communications, CBS dengan Tisch Inc. Secara keseluruhan hal itu meningkatkan konsentrasi dalam industri media, yang semula dikuasai 46 korporasi komunikasi, menjadi semakin terpusat di tangan 23 korporasi raksasa. Masing-masing korporasi juga merupakan bagian dari struktur konglomerasi yang bergerak di berbagai sektor industri media dan hiburan, hingga sektor-sektor industri perbankan, manufaktur, ataupun industri pertahanan (Herman dan Chomsky, 1988; Bagdikian, 1990).
Analisis para instrumentalis (khususnya yang menggunakan teori Herman dan Chomsky tentang Propaganda Model, 1980), melihat bahwa karena kepentingan para konglomerat media itu semua terkait dengan kebijakan ekonomi konservatif pemerintahan Presiden Bush, maka liputan media yang mereka kuasai selama Perang Teluk juga berfungsi mendukung kebijakan perang sang Presiden.
Media, khususnya televisi, tidak lagi menempatkan diri sebagai wadah publik untuk memperdebatkan kebijakan yang menyangkut harkat hidup publik, ataupun mempertanyakan disinformasi dan propaganda pemerintah, tetapi justru menjadi instrumen untuk mendukung kebijakan Gedung Putih dan Pentagon (lihat, a.l., Kellner, 1992).
Analisis-analisis semacam itu secara langsung melihat adanya konspirasi antara pekerja media, pemilik modal, dan penguasa, yang memiliki kesamaan kepentingan ideologi untuk menggunakan media sebagai instrumen politik mereka.
Namun, di lain pihak, kelompok strukturalis melihat dukungan media terhadap kebijakan perang AS tersebut lebih disebabkan oleh faktor-faktor yang melekat dalam struktur industri media di AS sendiri.
Tekanan persaingan dalam struktur industri media (yang diwujudkan melalui TV rating, dan sebagainya), struktur produksi berita dalam organisasi media (yang antara lain menekankan standar newsworthiness tertentu) dan sebagainya, telah menyebabkan para pekerja media berlomba menyajikan krisis Irak-Kuwait sebagai komoditas-tanpa perlu adanya tekanan dari, atau konspirasi dengan pemilik modal dan penguasa.
Ideologi media dengan demikian tidak hanya ada di benak para pekerja industri media, tetapi melekat dalam struktur industri yang dijalani dalam keseharian para pekerjanya.
Media, mungkin memang memiliki karakteristik yang unik dibanding institusi kapitalis lainnya; sebab media justru diuntungkan oleh krisis, dan dirugikan bila segala sesuatunya berjalan normal: "... media thrive on crisis and are threatened by normalcy" (Raboy dan Dagenais, 1992).
Faktor struktural yang sama tampaknya kini kembali berperan dalam krisis Afganistan. Faktor struktural serupa mungkin juga banyak berperan dalam industri media di Tanah Air, selama masa Perang Teluk, ataupun masa-masa krisis lain yang terjadi di Tanah Air sendiri.
Barang tentu, kelompok konstruktivis, yang menekankan adanya interplay antara struktur dan agensi (seperti Mosco, Golding, dan Murdock yang dipengaruhi teori strukturasinya Giddens), tidak sepenuhnya menerima proposisi the primacy of structure over agency seperti dikemukakan perspektif strukturalis. Sebab, para jurnalis sebagai human agents mampu memberikan reaksi terhadap struktur politik-ekonomi industri media. Selalu ada pekerja industri media yang menilai peperangan dan tindakan saling membunuh sesama manusia sebagai tindakan barbar, dan karenanya melakukan tindakan jurnalistik sesuai dengan keyakinannya itu.
Akan tetapi, toh dalam konteks situasional tertentu, seperti ketika media berlomba menjadikan krisis sebagai komoditas, maka struktur yang ada menjadi amat berperan dalam membatasi ruang gerak dan pilihan-pilihan yang dimiliki para pekerja industri media.
Pemahaman ini sekaligus menempatkan economic determinism dalam pengertian yang lebih luwes: faktor-faktor struktural ekonomi tidak sepenuhnya menentukan, tetapi membatasi lingkup gerak dan pilihan yang tersedia bagi human agencies. Sebab, bagaimanapun juga media dalam sebuah sistem kapitalis, pertama-tama adalah institusi kapitalis, bukan instrumen politik luar negeri.

Realitas subjektif
Pertanyaan yang akhirnya muncul adalah, apakah realitas simbolik yang ditampilkan media benar-benar menjadi realitas subjektif dalam diri khalayak yang berada di luar struktur industri media. Atau, apakah genderang perang yang ditabuh media AS bertanggung jawab terhadap histeria perang yang tercermin melalui hasil berbagai jajak pendapat, dan serangan fisik terhadap tempat ibadah dan warga Arab-Amerika di berbagai wilayah Amerika? Apakah media massa kita turut bertanggung jawab juga terhadap munculnya aksi sweeping atau seruan jihad di Tanah Air?
Analisis studi budaya (cultural studies) ataupun teori-teori postmodernisme cenderung terjebak dalam penyimpulan bahwa realitas simbolik (teks isi media atau artifak kultural lainnya) secara langsung juga memperlihatkan efek yang akan ditimbulkannya terhadap realitas subjektif (persepsi dan sikap khalayak yang mendasari tindakan mereka). Dengan kata lain, hegemoni suatu ideologi dalam isi media bisa secara langsung memperlihatkan adanya hegemoni ideologi tersebut dalam kesadaran individu. Namun, studi-studi empirik memperlihatkan kurang adanya hubungan linear satu arah antara realitas simbolik dan realitas subjektif.
Hegemoni selalu melibatkan proses kontra hegemoni. Khalayak sebagai human agents selalu mampu bereaksi dan mempertanyakan realitas simbolik yang diketengahkan media; mereka pun mampu menyusun struktur wacana atau frames tandingan untuk melakukan oppositional readings atau memberi makna tandingan terhadap makna realitas simbolik yang mereka konsumsi melalui media. Dengan itu pula, realitas "objektif" seputar tragedi 11 September lebih merupakan sebuah konstruksi sosial, yang melibatkan interaksi timbal-balik antara berbagai realitas subjektif dan realitas simbolik Khalayak hanya akan melakukan dominant readings, dan menjadikan realitas simbolik sebagai bagian dari realitas subjektif mereka, bila unsur-unsur realitas simbolik (seperti framing devices dan reasoning devices dalam teks isi media) memiliki resonansi kultural dengan realitas subjektif yang dihayati khalayak dalam posisi struktural mereka. Penggunaan exemplar seperti "Pearl Harbor" jelas lebih memiliki resonansi kultural dengan khalayak di Amerika. Sebaliknya, frames "arogansi Amerika" lebih memiliki resonansi budaya dengan individu-individu yang dalam kesehariannya menempati posisi subordinat dalam struktur hubungan yang timpang antara negara maju dan terbelakang.
Dan, genderang perang ditabuh bersahutan hanya antara media dan mereka yang memang dalam posisi ingin berperang.
* Dedy N Hidayat, Pascasarjana FISIP-UI.

No comments: