Wednesday, May 17, 2006

KOMPAS, Rabu, 16 Februari 2005

"Bubble Politics" Presiden Yudhoyono
Oleh Dedy N Hidayat
PEMILIHAN Umum 2004 telah menciptakan mode of power production yang kian mengandalkan "gelembung politik" (bubble politics). Melalui kampanye dan manajemen persepsi, realitas Susilo Bambang Yudhoyono telah "digelembungkan" menjadi citra unggulan, yang dipertarungkan merebut investasi dukungan suara di bursa politik.
Proses rasional pemilihan presiden memang seolah telah direduksi menjadi sekadar masalah periklanan dan kehumasan. Dengan dana kampanye yang kian membengkak, realitas para kandidat direkayasa menjadi citra-citra unggulan. Alhasil, muncul diskrepansi, atau gap, antara citra kandidat yang tertanam dalam persepsi pemilih dan realitas potensi kinerja yang dimilikinya. Masalahnya akan muncul bila pemenang pemilu, Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), gagal menciptakan ekuilibrium "gelembung" atau gap antara citra yang dimiliki dan realitas kinerjanya.
Memang selalu ada mekanisme koreksi diri yang menjaga supaya gap antara citra SBY (beserta ekspektasi yang melekat pada citranya) dan realitas kinerja pemerintahannya tetap berada dalam kondisi berimbang (atau near-equilibrium condition). Antara lain, mengutip Soros, publik mengamati kinerja pemenang pemilu tidak seperti yang dicitrakan atau diharapkan, tetapi tetap memberi toleransi, dengan cara menyesuaikan harapannya (George Soros, The Bubble of American Supremacy, 2004). Dalam konteks Indonesia, toleransi semacam itu juga didasari kesetiaan primordial, khususnya untuk segmen tertentu di partai-partai "tradisional", seperti pendukung Megawati dalam PDI-P (yang bersemboyan "pejah gesang nderek Bu Mega", atau "mati hidup ikut Bu Mega"). Namun, segmen fanatik serupa tampak belum tumbuh cukup kuat di antara pendukung SBY.
Bila ekuilibrium terlampaui, "gelembung" SBY akan "mengempis" atau justru "meletup". Probabilitas terjadinya political crash (yang memaksa presiden mundur sebelum waktunya) akibat guncangnya ekuilibrium citra-realitas SBY, saat ini memang masih bisa dikesampingkan. Tetapi akibat lain, seperti turunnya dukungan publik terhadap kebijakan-kebijakan SBY, melemahnya bantuan kalangan pro-SBY dalam menghadapi sikap kritis kelompok oposan, ataupun ditariknya investasi suara pada pemilu mendatang, semuanya patut diperhitungkan serius.
"Boom" dan "bust"
Berbeda dengan Megawati, SBY memasuki bursa Pemilu 2004 saat mengalami boom, yang antara lain ditunjukkan oleh besarnya dukungan dalam perolehan berbagai jajak pendapat. Nyaris semuanya berkat citra SBY sebagai sosok yang dinilai berjiwa pemimpin, mandiri, santun, moderat, dan punya emotional quotient tinggi dalam menghadapi konflik. Lebih penting lagi, SBY ditampilkan dalam citra tokoh perubahan.
Di lain pihak, Megawati dan PDI-P ketika itu telah melampaui masa boom, dan memasuki periode bust; antara lain akibat runtuhnya ekuilibrium antara citra sebagai tokoh partainya wong cilik yang berorientasi kerakyatan, dan realitas Megawati yang elitis serta kebijakan-kebijakan yang dinilai para pakar lebih didasarkan paham ekonomi neo-liberalisme (lihat al, Revrisond Baswir, "Paham Ekonomi Partai Dalam Konteks Bisnis dan Politik", Jurnal Reformasi Ekonomi, Vol 5/1; 2004).
Namun hanya sesaat setelah dilantik, ekuilibrium antara citra dan realitas SBY sebagai tokoh perubahan mulai terganggu. Tepatnya dalam proses penyusunan kabinet, ketika SBY ditampilkan media seolah just another politician, sama seperti umumnya politikus lain, yang tunduk pada realitas politik "dagang sapi". Apalagi kabinet yang akhirnya tersusun dinilai bukan sebuah dream team untuk melakukan perubahan.
Citra SBY tentu juga terkait dengan citra dan kinerja para pembantunya. Kasus seperti Wakil Presiden Jusuf Kalla yang merangkap jabatan Ketua Umum Partai Golkar memang bukan hal baru. Namun, bagi citra SBY sebagai tokoh perubahan, pengulangan praktik lama semacam itu bisa melunturkan ekspektasi publik akan perubahan. Meskipun langkah Wakil Presiden akan memperkuat dukungan parlemen, namun dukungan publik-yang notabene juga sumber legitimasi politik bagi parlemen-mungkin justru melemah.
Masalah serupa juga muncul ketika pemerintahan SBY bersikeras, bahkan memperlihatkan arogansi kekuasaan, untuk melanjutkan ujian akhir nasional (UAN) dalam bentuk ujian nasional (UN). Padahal, berbagai kalangan publik dan pakar mengamati hal itu sebagai pertanda tidak akan ada pembaruan atau perubahan dalam bidang pendidikan. Keduanya dinilai sebagai upaya pintas yang salah jalur dalam meningkatkan mutu pendidikan dan hanya akan menghamburkan biaya.
Ekuilibrium citra-kinerja SBY sebagai tokoh perubahan juga akan semakin terganggu bila memunculkan tendensi bangkitnya paradigma Orde Baru. Contohnya bila SBY menyetujui serangkaian Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) yang memuat kewenangan pemerintah untuk menguasai proses perizinan penyiaran dan untuk memberi sanksi pada lembaga penyiaran. Kewenangan itu semua melecehkan produk hukum paradigma reformasi (Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2002) yang menetapkan bahwa izin penyiaran diberikan oleh negara (bukan executive branch of government) melalui Komisi Penyiaran Indonesia, dan yang sama sekali tidak menetapkan wewenang bagi pemerintah untuk memberi sanksi kepada lembaga penyiaran.
SBY juga telah terjebak ritual "seratus hari pertama". Dampaknya, ia dipojokkan dalam citra bagai Presiden Roosevelt, yang dalam seratus hari mampu mengembalikan kepercayaan publik melalui kebijakan-kebijakan terobosan (New Deal-Keynesian economy) untuk mengatasi depresi ekonomi negaranya akibat kegagalan ekonomi pasar liberal. Padahal, kabinet SBY, yang banyak diisi pengusaha itu, belum mampu membuat terobosan "ideologi" pembangunan, masih terbelenggu kaidah ekonomi pasar neo-liberal, seperti tercermin melalui sikap pemerintah seputar swastanisasi, liberalisasi, dan pengurangan berbagai subsidi. Itu pun diperparah oleh "ideologi ekonomi" para menteri dan pembantu SBY, seperti yang mencuat melalui ucapan agar "... nasionalisme dikantongi saja", atau "Kalau tak mampu beli ya jangan pakai Elpiji..."
Fundamental politik
Hal-hal di atas hanyalah sebagian dari persoalan yang berpotensi menurunkan citra SBY sebagai tokoh perubahan. Namun, itu mungkin ikut memengaruhi totalitas penilaian terhadap SBY. Jajak pendapat harian ini, contohnya, menemukan indikasi tingkat kepuasan terhadap kinerja dan juga tingkat keyakinan terhadap kemampuan SBY dalam menangani berbagai persoalan bangsa mengalami penurunan cukup signifikan selama 100 hari pertama pemerintahannya (lihat Kompas, 28/1).
Dengan liberalisasi politik, khususnya penerapan sistem pemilihan langsung, suara pemilih sebagai the currency of politics telah mengalami apresiasi nilai. Karenanya, yang "fundamental" bagi suatu rezim politik bukan lagi hanya pencapaian-pencapaian politik seperti dukungan Dewan Perwakilan Rakyat, ataupun kinerja perbaikan ekonomi, tetapi juga pemantapan citra Presiden dalam persepsi publik yang akan melakukan investasi dukungan suara mereka, baik melalui pemilu, jajak pendapat, ataupun unjuk rasa.
Dengan sistem pemilihan Presiden langsung, indikasi meningkatnya mobilitas investasi suara juga semakin terlihat, antara lain dari beralihnya pendukung Megawati ke SBY, dan juga menurunnya, perolehan suara partai-partai "tradisional" yang semata-mata mengandalkan loyalitas primordial tanpa mengolahnya menjadi sebuah citra baru. Mobilitas itu pun bukan semata disebabkan perubahan citra atau perubahan kinerja, tetapi juga runtuhnya ekuilibrium antara citra dan kinerja.
Siklus boom and bust juga akan berlaku untuk bubble politics SBY. Setelah boom Pemilu 2004, SBY mungkin akan memasuki periode bust bila dia gagal menjaga ekuilibrium antara citra dan kinerja. Pertama, bila kinerja SBY kurang baik, namun di lain pihak terus "memompa" citra tokoh perubahan dengan janji-janji yang memperbesar ekspektasi publik. Kedua, bila kinerja SBY mengha- silkan perubahan nyata, tetapi menemui masalah komunikasi, atau terganggu citra para pembantunya, dalam memasyarakatkan prestasi tersebut untuk merawat citranya sebagai tokoh perubahan di mata publik.
Tentu SBY boleh mengatakan "I don’t care" dengan semua hal di atas bila tak berniat mencalonkan diri sebagai presiden untuk kedua kalinya, dan ingin sejarah menulis dirinya sebagai just another president.
Dedy N Hidayat Dosen Pascasarjana Komunikasi UI

No comments: