Friday, May 19, 2006






Menjelaskan Berakhirnya Rezim Orde Baru

Oleh Dedy N Hidayat


KOMPAS, Kamis, 10 September 1998

SEJAK beberapa tahun menjelang "Revolusi Mei 1998", analisis para pakar politik tentang prospek jangka pendek demokratisasi di Indonesia - atau lebih spesifik lagi: peluang untuk mengakhiri rezim represif Orde Baru dalam dasawarsa 1990-an - tidak menghasilkan kesimpulan yang membesarkan hati para reformis. Analisis-analisis tersebut - yang bisa dikelompokkan dalam empat pendekatan utama: structural approach, politics approach, cultural approach, dan international approach - nyaris kesemuanya sampai pada kesimpulan yang pesimistik atau penuh ketidakpastian tentang munculnya peluang demokratisasi selama tahun 1990-an (lihat Harold Crouch, 1996).

Dalam analisis pendekatan struktural, industrialisasi dan pertumbuhan ekonomi yang pesat di Tanah Air, dinilai tidak menciptakan struktur sosio-ekonomi yang mampu menjadi dasar kukuh bagi proses demokratisasi. Proporsi kelas menengah yang secara signifikan mampu menciptakan tuntutan ke arah demokratisasi, masih amat kecil. Selain itu, struktur perimbangan hubungan pusat-daerah juga diwarnai oleh dominasi elite birokrat dan militer di daerah yang berorientasi pada dukungan dari pusat, dan karenanya kurang berkepentingan dengan penegakan institusi demokratis di wilayah mereka.

Analisis-analisis yang mempergunakan pendekatan budaya memang mengamati budaya politik yang ada telah semakin banyak memuat elemen-elemen pemikiran demokrasi. Namun memori sosial yang telanjur terisi kesan buruknya konflik politik dalam era demokrasi liberal 1950-an, serta berbagai konflik berdarah yang terjadi selama dasawarsa 1950-1960-an, telah membuat banyak kalangan masyarakat, terutama kelas menengah yang telah mapan, cenderung bersikap mendua dalam mendukung proses-proses demokratisasi yang berisiko memunculkan instabilitas dan perubahan drastis.

Sejumlah analisis yang memakai international approach, menilai persaingan ekonomi global antara negara industri Barat, khususnya selama era pasca-Perang Dingin, telah mengurangi intensitas tekanan mereka agar Dunia Ketiga, termasuk Indonesia, menerapkan sistem politik yang lebih demokratis. Tekanan agar Dunia Ketiga melakukan deregulasi dan liberalisasi ekonomi, didasarkan atas kepentingan investasi dan ekspansi ekonomi negara-negara industri maju Barat; dan demi kepentingan itu pula mereka lebih tertarik pada masalah stabilitas politik dibanding upaya demokratisasi Dunia Ketiga. Selain itu, meskipun tekanan luar negeri mampu menjatuhkan suatu rezim otoriter, namun itu tidak menjamin munculnya rezim baru yang demokratis, terlebih lagi bila struktur sosio-ekonomi, budaya politik, serta kondisi politik internal lainnya tidak memadai.

Tapi meskipun struktur sosio-ekonomi, budaya politik, dan tekanan internasional kurang memadai, sebenarnya proses demokratisasi bisa dimunculkan oleh persaingan antar-elite politik. Itulah theorem analisis yang mempergunakan politics approach. Namun pendekatan tersebut terbentur pada suatu spektrum yang amat lebar tentang kemungkinan tingkah-laku atau skenario dari elite politik, dan karenanya juga sulit menyimpulkan apakah suatu friksi antar-elite akan menciptakan kondisi yang menunjang proses demokratisasi.

Namun dalam konteks politik Indonesia, Harold Crouch (1996) memperkirakan munculnya friksi atau perpecahan antar-elite penguasa, khususnya militer, merupakan faktor paling berpeluang memunculkan proses demokratisasi, terlebih lagi bila tiap kubu elite menjalin aliansi dengan kelompok-kelompok masyarakat.

Retrospeksi

Kesemua analisis di atas kini nampaknya harus membuat suatu retrospeksi konseptual dan teoretikal, agar mampu menjelaskan proses reformasi dan demokratisasi yang berlangsung menjelang dan sesudah mundurnya Soeharto bulan Mei lalu.

Analisis struktural, contohnya, perlu mengkaji kembali premis tentang kurang signifikannya tuntutan ke arah demokratisasi yang dilakukan kelas menengah akibat masih terlalu kecilnya jumlah mereka. Sebab, dari segi kuantitas, kelas menengah yang mampu mendesakkan tuntutan ke arah demokratisasi, tidak bisa didefinisikan hanya dari segi ekonomi. Kelas tersebut sebetulnya mencakup kelompok berpendidikan yang tidak atau belum sepenuhnya terserap dalam proses produksi (seperti kalangan sarjana penganggur yang hingga awal 1997 diduga telah mencapai 600.000, dan juga kalangan mahasiswa yang tersebar di hampir 400 perguruan tinggi negeri maupun swasta).

Dari segi kualitas, banyak di antara mereka yang menjadi perintis reformasi yang militan, dan mengorganisir diri dalam lembaga swadaya politik atau lembaga advokasi, seperti Pijar Indonesia, Aldera, Walhi, LBH, SMID, dan sebagainya. Hingga 1997 lembaga swadaya masyarakat dan advokasi di Tanah Air diperkirakan mencapai jumlah sekitar 9.000 hingga 10.000, dan banyak di antaranya mampu membangun jaringan komunikasi dan aksi antarmereka sendiri ataupun dengan kelompok-kelompok buruh. Lebih dari itu, mereka inilah yang mungkin dimaksudkan oleh Liddle sebagai angkatan baru, yang mampu memanfaatkan global new political resources dengan mengaitkan negara kita ke sebanyak mungkin jaringan kekuatan globalisasi, dari internet hingga institusi internasional. Pengaitan semacam itu berpotensi mengimpor berbagai perubahan mendasar, termasuk negara hukum, yang tidak mungkin datang dari atas atau dari bawah (lihat William Liddle, Revolusi dari Luar. Kompas, 6 Januari 1998).

Dari sisi itu pula, faktor internasional pendorong demokratisasi sebenarnya tidak terbatas hanya pada liberalisasi ekonomi dan demokratisasi politik yang dituntutkan oleh negara-negara industri Barat, melainkan juga pada opini publik internasional, yang berkat teknologi komunikasi bisa dihadirkan ke sekian juta rumah warga masyarakat.

Di luar faktor-faktor yang ditonjolkan oleh berbagai pendekatan tersebut, ada sejumlah faktor lain yang membantu menjelaskan lengser-nya rezim Orde Baru. "The weak have one weapon, the errors of those who think they are strong" kata George Bidault. Serangkaian kesalahan politik dan ekonomi yang dilakukan oleh rezim Orde Baru, telah memperbesar peluang berbagai faktor yang ditonjolkan empat pendekatan tersebut untuk mendorong demokratisasi. Intervensi terhadap masalah PDI dan tindak kekerasan fisik dalam peristiwa 27 Juli, contohnya, menunjukkan rasa percaya diri rezim Orde Baru yang berlebihan, yang akibatnya justru telah mempersatukan berbagai kekuatan kelas menengah dan memfokuskan kritik mereka pada isu-isu konkret yang mudah dipahami masyarakat luas.

Rasa percaya diri yang berlebihan, atau mungkin tidak difungsikannya mekanisme umpan-balik (feedback mechanism) juga terlihat dari korupsi, kolusi, dan nepotisme yang semakin terang-terangan dipraktekkan rezim Orde Baru, mulai proyek mobil Timor, pemberian hak-hak monopoli serta kemudahan bisnis, sampai penunjukan anggota DPR.

Krisis moneter

Bagaimana pun, sinergi keterkaitan berbagai faktor yang diuraikan di atas - seperti desakan kelas menengah, friksi antar-elite politik dan militer, tekanan internasional, dan perubahan budaya politik - waktu itu belum mampu berfungsi sebagai suatu prasyarat cukup (sufficient precondition) bagi lengser-nya rezim Orde Baru ataupun bagi munculnya proses demokratisasi yang signifikan. Masalahnya, kesemua faktor tersebut bekerja dalam kondisi pertumbuhan ekonomi di mana legitimasi yang diperlukan bagi keberlangsungan rezim Orde Baru bisa terus diproduksi, mengurangi tekanan krisis legitimasi yang telah berlangsung sejak 1970-an. Dengan pertumbuhan ekonomi yang relatif stabil pada tingkat sekitar tujuh persen per tahun, serta superioritas organisasi (birokrasi dan militer) yang dapat dibiayai oleh pertumbuhan ekonomi, rezim Orde Baru saat itu benar-benar mampu menerapkan formula suksesnya, yakni: economic growth + organisational superiority = regime survival (lihat: Don Emmerson, 1983).

Kondisi yang mengundang pujian lembaga internasional semacam Bank Dunia itu, selain dengan mudah telah mengecilkan arti segala kebocoran dana pembangunan dan praktek KKN yang tidak sesuai dengan mekanisme ekonomi pasar global, telah pula menetralisir pengaruh sinergetik faktor-faktor pendorong demokratisasi yang disebutkan empat pendekatan di atas.

Akan tetapi kemampuan rezim Orde Baru untuk memproduksi legitimasi yang dibutuhkan untuk mengatasi kritis legitimasi, telah merosot secara drastis dengan munculnya krisis moneter. Krisis tersebut dimunculkan oleh dinamika sirkulasi modal dalam sektor finansial sistem kapitalisme global, dan tidak secara langsung berhubungan dengan sektor ekonomi riil, di mana barang dan jasa diproduksi. Apa yang "fundamental" dalam sektor ini - sentimen pasar yang digerakkan oleh fear and greed (Beeson, 1998) - tidak harus berhubungan dengan "fundamental" dalam pengertian ortodoks, seperti cadangan devisa, neraca perdagangan, serta pertumbuhan GDP yang saat itu cukup kuat dimiliki Indonesia.

Di tengah krisis moneter itu, yang episentrumnya di negara lain, faktor-faktor pendorong proses demokratisasi seperti yang dijelaskan oleh empat pendekatan di atas, mampu mengembangkan sinerginya secara optimal, yang minimal akhirnya mendorong tokoh sentral rezim Orde Baru untuk lengser keprabon.

Implikasi teoretikal dari proses lengser- nya rezim Orde Baru menjadi kurang penting bila krisis moneter saat ini hanyalah suatu "kebetulan atau ketidaksengajaan sejarah." Namun skala ekspansi sektor finansial dalam sistem kapitalisme global saat ini, amat mungkin menjadikan krisis serupa sebagai suatu intrinsic recurrent pattern, yang secara random bisa menimpa tiap negara yang telah jauh mengintegrasikan diri dalam sistem kapitalisme global.

Bila pendekatan struktural selama ini berusaha menampilkan tesis tentang kemampuan pertumbuhan ekonomi kapitalis dalam mendorong demokratisasi, maka fenomena yang terjadi di Tanah Air merupakan kasus di mana proses demokratisasi justru didorong oleh keruntuhan ekonomi. Kenyataan tersebut memunculkan suatu pertanyaan yang harus segera dijawab oleh segenap elemen demokrasi, terutama oleh partai-partai politik, yakni bagaimana dalam kondisi ekonomi yang amat terpuruk, dan terus memburuk, proses demokratisasi bisa berjalan mulus, tanpa harus membuka Kotak Pandora yang penuh berisi sentimen primordialisme dan irasionalitas politik, ataupun tanpa perlu meniru berbagai tingkah laku politik menyimpang seperti yang selalu dijalankan rezim terdahulu.

Sebab, kegagalan menjawab masalah itu, boleh jadi akan mengakibatkan demokrasi yang dihasilkan oleh keterpurukan ekonomi saat ini hanyalah suatu transient state of democracy, bagaikan sebuah sub-partikel anonim yang eksistensinya hanya terdeteksi selama sepersekian ribu detik setelah terjadi fisi atom.
* Dedy N Hidayat, Dosen Pascasarjana UI, Jakarta.

No comments: