Wednesday, May 31, 2006

SKANDAL TINA DAN PRESIDEN BARU
Oleh Dedy N Hidayat
SEBUAH edisi harian ini (17/6/2004) secara tak langsung telah menyajikan executive summary prestasi liberalisasi ekonomi global yang kini juga tengah melanda negeri kita. Di sebuah halaman ditulis "Orang Kaya Sejagat Naik Menjadi 7,7 Juta", tetapi di halaman lain dilaporkan "25.000 Orang Meninggal Setiap Hari karena Kelaparan dan Kemiskinan".
KOMPAS, Senin, 02-08-2004
Itulah the world of winners and losers produk liberalisasi pasar global, yang penuh kisah sukses makro-ekonomi di satu sisi dan skandal kemanusiaan di sisi lain. Amatlah wajar bila, menjelang pemilihan umum (pemilu) presiden putaran kedua, publik mempertanyakan sejauh mana para calon presiden (capres) cenderung untuk menjalankan liberalisasi ekonomi dan mengintegrasikan Republik ini lebih dalam lagi ke pasar global.

Struktur pasar global yang ada saat ini jelas bukanlah suatu realitas alami yang tak terelakkan, melainkan sebuah konstruksi sosial yang tidak terlepas dari sejarah dominasi kepentingan sejumlah agencies atau aktor sosial. Mereka mencakup institusi (seperti IMF hingga Adam Smith Institute), pakar ekonomi (dari von Hayek hingga penganutnya di negara-negara berkembang), dan tentu para elite politik (dari Thatcher, Clinton, hingga para negarawan Dunia Ketiga). Konstituen utama proyek besar itu sekurangnya mencakup 100 entitas ekonomi terbesar dunia-yang 52 di antaranya bukan berbentuk negara, tetapi perusahaan multinasional atau transnasional (Chesney, 2001).

Konstruksi pasar global tersebut didasarkan atas doktrin bahwa demi maksimalisasi akumulasi modal dan efisiensi alokasi sumberdaya ekonomi, tidak ada alternatif lain, kecuali memperjuangkan sebesar mungkin kebebasan bagi modal, barang, dan jasa untuk bergerak ke seluruh pelosok dunia serta kemerdekaan bagi para pemodal untuk berkompetisi di mana pun di dunia, tanpa kekangan "artifisial" dari siapa pun selain kaidah-kaidah pasar yang "alami". Ketika Thatcher memulai "revolusi neoliberal" (awal 1980-an), slogan "There Is No Alternative", atau TINA, seolah menjadi pembenaran bagi Thatcherisme dan program-program swastanisasi, deregulasi, atau liberalisasi yang dilahirkannya. Kegagalan eksperimen sosialisme di blok komunis (akhir 1980-an) semakin memantapkan keyakinan para ekonom liberal pada premis TINA, sekaligus membantu ekspansi global hegemoni doktrin- doktrin neoliberalisme. Skandal kemanusiaan

Nyatanya, liberalisasi perdagangan dan investasi dunia sejauh ini telah menciptakan fenomena melebarnya kesenjangan ekonomi, di negara-negara Dunia Ketiga ataupun di Dunia Pertama. Sebuah lembaga di Washington DC, Cato Institute, melaporkan, negara-negara yang memiliki "kebebasan ekonomi" tinggi rata-rata ekonominya juga tumbuh lebih cepat. Kanada termasuk satu di antara 10 negara yang ekonominya tumbuh pesat tersebut (Economic Freedom of the World 2004, 15/7/2004). Namun, laporan itu mengabaikan data bahwa semenjak perdagangan bebas dengan Amerika Serikat diberlakukan, jumlah anak yang hidup dalam kemiskinan di Kanada, mencapai 16 juta-tertinggi di antara negara-negara industri maju (Barlow, 2001).

Sementara itu, walaupun pendapatan per kapita negara maju terus meningkat, sekitar 80 negara lain justru mengalami penurunan selama dua dekade terakhir (Shalom, 2000). Program swastanisasi di berbagai negara juga menyebabkan orang semakin sulit memenuhi kebutuhan dasar yang menjadi hak setiap warga negara. Komodifikasi air bersih, melalui swastanisasi perusahaan publik (BUMN), contohnya, akan menyebabkan dua pertiga penduduk dunia di tahun 2025 tidak punya akses memperoleh air bersih (Barlow, 2003). Di berbagai negara, swastanisasi perusahaan publik pemegang natural monopoly (seperti telekomunikasi, minyak, air, listrik, transportasi), telah mengakibatkan "kegagalan struktural" pada pasar, memunculkan monopoli ataupun oligopoli swasta yang bebas menetapkan harga tanpa disertai peningkatan mutu layanan publik (George, 1999).

Liberalisasi finansial global-ditandai membengkaknya volume investasi spekulatif yang memiliki mobilitas amat tinggi, tetapi tidak terkait dengan investasi di sektor riil-telah menjadikan negara semakin rentan terhadap spekulasi valuta dan melemahkan kedaulatan menjalankan kebijakan ekonomi. Selain itu, juga menimbulkan eksternalitas, atau dampak yang harus ditanggung pihak-pihak yang tidak terlibat transaksi dan spekulasi-seperti ditunjukkan oleh krisis ekonomi 1997-1998 di Tanah Air.

Neoliberalisme sebenarnya sarat memuat potensi untuk menciptakan skandal-skandal kemanusiaan, yakni sebagai manifestasi Social Darwinism, seolah yang berhak hidup hanyalah mereka yang mampu berpartisipasi dalam sirkuit akumulasi modal atau berhasil memanfaatkan pasar. TINA vs TIA Pelaksanaan pemilu presiden putaran pertama, telah menciptakan sentimen positif bagi pasar. Investor asing diberitakan menyerbu Bursa Efek Jakarta. Di samping nilai rupiah, indeks harga saham juga ikut meningkat cukup tajam, diwarnai lonjakan transaksi yang didominasi investor asing. Itu semua juga bisa berarti, sentimen positif tersebut muncul karena pasar menilai
para capres, khususnya yang berhasil maju ke putaran kedua, adalah figur-figur yang market friendly, dan tidak "sok berani" berspekulasi mencari alternatif baru, selain menjalankan liberalisasi dan swastanisasi, serta mengintegrasikan diri lebih jauh lagi ke dalam struktur ekonomi pasar global.

Berbagai dialog ataupun "debat" antarcapres di televisi (di mana umumnya para ekonom liberal menjadi panelis) ataupun publikasi platform dari tiap capres sejauh ini memang tidak cukup tegas memperlihatkan adanya tawaran alternatif dari para capres untuk menjawab permasalahan yang terkait dengan liberalisasi perdagangan, deregulasi pasar finansial global, ataupun swastanisasi. Publik, contohnya, perlu kejelasan dari para kandidat mengenai kebijakan swastanisasi BUMN yang selama ini telah ditempuh. Apakah para capres tertarik pada premis TIA (There Is Alternative), dan berusaha merumuskan alternatif perbaikan kinerja BUMN seperti yang ditempuh Singapura. Ataukah, justru mereka tunduk pada premis TINA-yang menilai BUMN secara intrinsik tidak efisien dan karena itu tidak ada alternatif lain, kecuali melanjutkan (atau bahkan memperluas) program swastanisasi BUMN, termasuk yang mengelola hajat hidup orang banyak sekalipun. Publik pun hanya samar- samar menangkap program apa yang akan ditempuh guna melindungi para buruh dan tani dari ancaman perdagangan bebas. Perlu kejelasan, contohnya, program para capres untuk melindungi para petani tradisional dari ancaman persaingan produk-produk raksasa agroindustri transnasional yang membanjir, seiring dengan perkembangan perdagangan bebas dunia. Dalam menghadapi masalah dan eksternalitas liberalisasi lalu lintas finansial, publik juga tidak banyak mengetahui apakah para capres menawarkan solusi alternatif, misalnya, berupa program untuk mempertautkan arus investasi spekulatif di Bursa Efek Jakarta dengan investasi langsung di sektor riel yang mampu menyerap tenaga kerja.

Ketiadaan tawaran solusi alternatif semacam itu mengesankan para capres pasrah menerima doktrin neoliberal, dan menerima unregulated lalu lintas finansial global saat ini sebagai suatu realitas "obyektif" yang tidak bisa dihindari. Faktor big money campaign-di mana porsi terbesar dana kampanye berasal dari badan-badan usaha dan pengusa- ha besar-juga memunculkan ugaan bahwa presiden baru kita kelak mengabaikan usaha menemukan alternatif baru, dan justru menempuh pilihan untuk mengintensifkan program-program liberalisasi yang menguntungkan para pengusaha besar donatur kampanye.

Saat ini, publik sendiri memang belum mempertanyakan isu-isu seputar dampak liberalisasi ekonomi. Sebab, yang berlangsung selama masa pemilu saat ini adalah fenomena bubble politics-di mana investasi dukungan suara dari pemilih terhadap seorang capres lebih banyak digelembungkan oleh politik pencitraan, bukan oleh keunggulan platform dan program. Namun, amat mungkin, setelah dampak penerapan neoliberalisme semakin dirasakan publik, "gelembung-gelembung sabun" dukungan politik akan mengempis, digantikan oleh sikap yang semakin kritis dari publik.
Dedy N HidayatDosen Pascasarjana Ilmu Komunikasi FISIP-UI

Tuesday, May 23, 2006

Ideologi Pembangunan "Blame the Victims"

Oleh Dedy N Hidayat

KOMPAS, Rabu, 28 April 2004
REZIM terus berganti, namun rangkaian kebijakan pembangunan sejak era Orde Baru hingga kini sebenarnya masih berpijak pada ideologi yang sama. Dalam dirinya termuat suatu paradoks siklus blame the victims, di mana korban kegagalan dan keberpihakan suatu kebijakan pembangunan justru dipersalahkan dan "dihukum" oleh kebijakan-kebijakan berikutnya.

Masalahnya, mampukah rezim hasil Pemilu 2004 melakukan reformasi terhadap ideologi pembangunan semacam itu?

Ujian Akhir Nasional (UAN) yang akan diselenggarakan pemerintah bisa dinilai sebagai contoh praktik ideologi tersebut di atas. Dengan dalih meningkatkan mutu pendidikan, para birokrat pembangunan pendidikan telah menetapkan kebijakan UAN (dengan biaya sekitar Rp 250 miliar), yang oleh banyak pengamat diperkirakan nantinya akan menyebabkan banyak siswa gagal menempuh ujian tersebut. Di beberapa tempat angka ketidaklulusan bahkan diprediksi bisa mencapai sekitar 40 persen (lihat "Angka Ketidaklulusan Diprediksi Akan Tinggi", Kompas, 21 April 2004).

Mudah pula diduga, sebagian dari mereka yang akan gagal adalah siswa sekolah-sekolah yang selama ini memiliki fasilitas belajar tidak mencukupi, kesejahteraan gurunya memprihatinkan, dan kurang memiliki guru yang kompeten menjalankan kurikulum. Kesemuanya itu adalah akibat dari kebijakan yang tidak mampu memprioritaskan sektor pendidikan. Hal itu antara lain tercermin dari alokasi dana pendidikan (di luar anggaran gaji guru dan pendidikan kedinasan) yang masih amat jauh di bawah 20 persen dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara ataupun Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah seperti diamanatkan konstitusi).

Siswa sekolah-sekolah semacam itu, umumnya berasal dari kalangan keluarga yang orangtuanya tidak mempunyai kemampuan finansial untuk melakukan pilihan lain, seperti membeli jasa pendidikan dari lembaga pendidikan berkualitas ataupun membeli jasa ekstra dari berbagai lembaga bimbingan belajar dan les privat, seperti yang dengan mudah bisa dinikmati teman mereka dari kalangan kelas menengah ke atas.

Berdasarkan fakta adanya kesenjangan layanan dan sarana pendidikan lintas daerah, sekolah, dan individu siswa, patut dipertanyakan kebijakan pemerintah dalam mengurangi kesen

Friday, May 19, 2006






Menjelaskan Berakhirnya Rezim Orde Baru

Oleh Dedy N Hidayat


KOMPAS, Kamis, 10 September 1998

SEJAK beberapa tahun menjelang "Revolusi Mei 1998", analisis para pakar politik tentang prospek jangka pendek demokratisasi di Indonesia - atau lebih spesifik lagi: peluang untuk mengakhiri rezim represif Orde Baru dalam dasawarsa 1990-an - tidak menghasilkan kesimpulan yang membesarkan hati para reformis. Analisis-analisis tersebut - yang bisa dikelompokkan dalam empat pendekatan utama: structural approach, politics approach, cultural approach, dan international approach - nyaris kesemuanya sampai pada kesimpulan yang pesimistik atau penuh ketidakpastian tentang munculnya peluang demokratisasi selama tahun 1990-an (lihat Harold Crouch, 1996).

Dalam analisis pendekatan struktural, industrialisasi dan pertumbuhan ekonomi yang pesat di Tanah Air, dinilai tidak menciptakan struktur sosio-ekonomi yang mampu menjadi dasar kukuh bagi proses demokratisasi. Proporsi kelas menengah yang secara signifikan mampu menciptakan tuntutan ke arah demokratisasi, masih amat kecil. Selain itu, struktur perimbangan hubungan pusat-daerah juga diwarnai oleh dominasi elite birokrat dan militer di daerah yang berorientasi pada dukungan dari pusat, dan karenanya kurang berkepentingan dengan penegakan institusi demokratis di wilayah mereka.

Analisis-analisis yang mempergunakan pendekatan budaya memang mengamati budaya politik yang ada telah semakin banyak memuat elemen-elemen pemikiran demokrasi. Namun memori sosial yang telanjur terisi kesan buruknya konflik politik dalam era demokrasi liberal 1950-an, serta berbagai konflik berdarah yang terjadi selama dasawarsa 1950-1960-an, telah membuat banyak kalangan masyarakat, terutama kelas menengah yang telah mapan, cenderung bersikap mendua dalam mendukung proses-proses demokratisasi yang berisiko memunculkan instabilitas dan perubahan drastis.

Sejumlah analisis yang memakai international approach, menilai persaingan ekonomi global antara negara industri Barat, khususnya selama era pasca-Perang Dingin, telah mengurangi intensitas tekanan mereka agar Dunia Ketiga, termasuk Indonesia, menerapkan sistem politik yang lebih demokratis. Tekanan agar Dunia Ketiga melakukan deregulasi dan liberalisasi ekonomi, didasarkan atas kepentingan investasi dan ekspansi ekonomi negara-negara industri maju Barat; dan demi kepentingan itu pula mereka lebih tertarik pada masalah stabilitas politik dibanding upaya demokratisasi Dunia Ketiga. Selain itu, meskipun tekanan luar negeri mampu menjatuhkan suatu rezim otoriter, namun itu tidak menjamin munculnya rezim baru yang demokratis, terlebih lagi bila struktur sosio-ekonomi, budaya politik, serta kondisi politik internal lainnya tidak memadai.

Tapi meskipun struktur sosio-ekonomi, budaya politik, dan tekanan internasional kurang memadai, sebenarnya proses demokratisasi bisa dimunculkan oleh persaingan antar-elite politik. Itulah theorem analisis yang mempergunakan politics approach. Namun pendekatan tersebut terbentur pada suatu spektrum yang amat lebar tentang kemungkinan tingkah-laku atau skenario dari elite politik, dan karenanya juga sulit menyimpulkan apakah suatu friksi antar-elite akan menciptakan kondisi yang menunjang proses demokratisasi.

Namun dalam konteks politik Indonesia, Harold Crouch (1996) memperkirakan munculnya friksi atau perpecahan antar-elite penguasa, khususnya militer, merupakan faktor paling berpeluang memunculkan proses demokratisasi, terlebih lagi bila tiap kubu elite menjalin aliansi dengan kelompok-kelompok masyarakat.

Retrospeksi

Kesemua analisis di atas kini nampaknya harus membuat suatu retrospeksi konseptual dan teoretikal, agar mampu menjelaskan proses reformasi dan demokratisasi yang berlangsung menjelang dan sesudah mundurnya Soeharto bulan Mei lalu.

Analisis struktural, contohnya, perlu mengkaji kembali premis tentang kurang signifikannya tuntutan ke arah demokratisasi yang dilakukan kelas menengah akibat masih terlalu kecilnya jumlah mereka. Sebab, dari segi kuantitas, kelas menengah yang mampu mendesakkan tuntutan ke arah demokratisasi, tidak bisa didefinisikan hanya dari segi ekonomi. Kelas tersebut sebetulnya mencakup kelompok berpendidikan yang tidak atau belum sepenuhnya terserap dalam proses produksi (seperti kalangan sarjana penganggur yang hingga awal 1997 diduga telah mencapai 600.000, dan juga kalangan mahasiswa yang tersebar di hampir 400 perguruan tinggi negeri maupun swasta).

Dari segi kualitas, banyak di antara mereka yang menjadi perintis reformasi yang militan, dan mengorganisir diri dalam lembaga swadaya politik atau lembaga advokasi, seperti Pijar Indonesia, Aldera, Walhi, LBH, SMID, dan sebagainya. Hingga 1997 lembaga swadaya masyarakat dan advokasi di Tanah Air diperkirakan mencapai jumlah sekitar 9.000 hingga 10.000, dan banyak di antaranya mampu membangun jaringan komunikasi dan aksi antarmereka sendiri ataupun dengan kelompok-kelompok buruh. Lebih dari itu, mereka inilah yang mungkin dimaksudkan oleh Liddle sebagai angkatan baru, yang mampu memanfaatkan global new political resources dengan mengaitkan negara kita ke sebanyak mungkin jaringan kekuatan globalisasi, dari internet hingga institusi internasional. Pengaitan semacam itu berpotensi mengimpor berbagai perubahan mendasar, termasuk negara hukum, yang tidak mungkin datang dari atas atau dari bawah (lihat William Liddle, Revolusi dari Luar. Kompas, 6 Januari 1998).

Dari sisi itu pula, faktor internasional pendorong demokratisasi sebenarnya tidak terbatas hanya pada liberalisasi ekonomi dan demokratisasi politik yang dituntutkan oleh negara-negara industri Barat, melainkan juga pada opini publik internasional, yang berkat teknologi komunikasi bisa dihadirkan ke sekian juta rumah warga masyarakat.

Di luar faktor-faktor yang ditonjolkan oleh berbagai pendekatan tersebut, ada sejumlah faktor lain yang membantu menjelaskan lengser-nya rezim Orde Baru. "The weak have one weapon, the errors of those who think they are strong" kata George Bidault. Serangkaian kesalahan politik dan ekonomi yang dilakukan oleh rezim Orde Baru, telah memperbesar peluang berbagai faktor yang ditonjolkan empat pendekatan tersebut untuk mendorong demokratisasi. Intervensi terhadap masalah PDI dan tindak kekerasan fisik dalam peristiwa 27 Juli, contohnya, menunjukkan rasa percaya diri rezim Orde Baru yang berlebihan, yang akibatnya justru telah mempersatukan berbagai kekuatan kelas menengah dan memfokuskan kritik mereka pada isu-isu konkret yang mudah dipahami masyarakat luas.

Rasa percaya diri yang berlebihan, atau mungkin tidak difungsikannya mekanisme umpan-balik (feedback mechanism) juga terlihat dari korupsi, kolusi, dan nepotisme yang semakin terang-terangan dipraktekkan rezim Orde Baru, mulai proyek mobil Timor, pemberian hak-hak monopoli serta kemudahan bisnis, sampai penunjukan anggota DPR.

Krisis moneter

Bagaimana pun, sinergi keterkaitan berbagai faktor yang diuraikan di atas - seperti desakan kelas menengah, friksi antar-elite politik dan militer, tekanan internasional, dan perubahan budaya politik - waktu itu belum mampu berfungsi sebagai suatu prasyarat cukup (sufficient precondition) bagi lengser-nya rezim Orde Baru ataupun bagi munculnya proses demokratisasi yang signifikan. Masalahnya, kesemua faktor tersebut bekerja dalam kondisi pertumbuhan ekonomi di mana legitimasi yang diperlukan bagi keberlangsungan rezim Orde Baru bisa terus diproduksi, mengurangi tekanan krisis legitimasi yang telah berlangsung sejak 1970-an. Dengan pertumbuhan ekonomi yang relatif stabil pada tingkat sekitar tujuh persen per tahun, serta superioritas organisasi (birokrasi dan militer) yang dapat dibiayai oleh pertumbuhan ekonomi, rezim Orde Baru saat itu benar-benar mampu menerapkan formula suksesnya, yakni: economic growth + organisational superiority = regime survival (lihat: Don Emmerson, 1983).

Kondisi yang mengundang pujian lembaga internasional semacam Bank Dunia itu, selain dengan mudah telah mengecilkan arti segala kebocoran dana pembangunan dan praktek KKN yang tidak sesuai dengan mekanisme ekonomi pasar global, telah pula menetralisir pengaruh sinergetik faktor-faktor pendorong demokratisasi yang disebutkan empat pendekatan di atas.

Akan tetapi kemampuan rezim Orde Baru untuk memproduksi legitimasi yang dibutuhkan untuk mengatasi kritis legitimasi, telah merosot secara drastis dengan munculnya krisis moneter. Krisis tersebut dimunculkan oleh dinamika sirkulasi modal dalam sektor finansial sistem kapitalisme global, dan tidak secara langsung berhubungan dengan sektor ekonomi riil, di mana barang dan jasa diproduksi. Apa yang "fundamental" dalam sektor ini - sentimen pasar yang digerakkan oleh fear and greed (Beeson, 1998) - tidak harus berhubungan dengan "fundamental" dalam pengertian ortodoks, seperti cadangan devisa, neraca perdagangan, serta pertumbuhan GDP yang saat itu cukup kuat dimiliki Indonesia.

Di tengah krisis moneter itu, yang episentrumnya di negara lain, faktor-faktor pendorong proses demokratisasi seperti yang dijelaskan oleh empat pendekatan di atas, mampu mengembangkan sinerginya secara optimal, yang minimal akhirnya mendorong tokoh sentral rezim Orde Baru untuk lengser keprabon.

Implikasi teoretikal dari proses lengser- nya rezim Orde Baru menjadi kurang penting bila krisis moneter saat ini hanyalah suatu "kebetulan atau ketidaksengajaan sejarah." Namun skala ekspansi sektor finansial dalam sistem kapitalisme global saat ini, amat mungkin menjadikan krisis serupa sebagai suatu intrinsic recurrent pattern, yang secara random bisa menimpa tiap negara yang telah jauh mengintegrasikan diri dalam sistem kapitalisme global.

Bila pendekatan struktural selama ini berusaha menampilkan tesis tentang kemampuan pertumbuhan ekonomi kapitalis dalam mendorong demokratisasi, maka fenomena yang terjadi di Tanah Air merupakan kasus di mana proses demokratisasi justru didorong oleh keruntuhan ekonomi. Kenyataan tersebut memunculkan suatu pertanyaan yang harus segera dijawab oleh segenap elemen demokrasi, terutama oleh partai-partai politik, yakni bagaimana dalam kondisi ekonomi yang amat terpuruk, dan terus memburuk, proses demokratisasi bisa berjalan mulus, tanpa harus membuka Kotak Pandora yang penuh berisi sentimen primordialisme dan irasionalitas politik, ataupun tanpa perlu meniru berbagai tingkah laku politik menyimpang seperti yang selalu dijalankan rezim terdahulu.

Sebab, kegagalan menjawab masalah itu, boleh jadi akan mengakibatkan demokrasi yang dihasilkan oleh keterpurukan ekonomi saat ini hanyalah suatu transient state of democracy, bagaikan sebuah sub-partikel anonim yang eksistensinya hanya terdeteksi selama sepersekian ribu detik setelah terjadi fisi atom.
* Dedy N Hidayat, Dosen Pascasarjana UI, Jakarta.

Thursday, May 18, 2006




MARHAEN PERGI BERSAMA BUNG KARNO


KOMPAS, Jumat, 01-06-2001.
Dedy N. Hidayat

BANYAK pihak memang ragu bahwa Soekarno, tahun 1930,pernah benar-benar berdialog dengan seorang petani bernama Marhaen (Legge, 1972). Kontribusi marhaenisme dalam wacana teori-teori pembangunan pun sering pula dipertanyakan. Namun, penggambaran Marhaen itu sendiri sebagai sebuah konsepsi pemikiran normatif Soekarno tentang manusia pelaku pertanian, masih tetap relevan dikaji, terutama yang menyangkut keberadaan dan masa depan kaum Marhaen di tengah pusaranarus globalisasi dan liberalisasi ekonomi.
MARHAEN, dalam konsepsi Soekarno (antara lain dalam pidato ulang tahun ke-30 PNI, di Bandung, 1957), bukanlah petani proletar, bukan pula petani kapitalis. Di satu sisi, walaupun hidup di ambang kemiskinan, namun Marhaen bukan buruh tani yang menjual tenaga kerjanya sebagai komoditas dalam proses produksi pertanian; walaupun lahan pertaniannya terbatas, tetapi itu miliknya sendiri; demikian pula cangkul, sabit, serta bajak yang digunakannya. Di sisi lain, ia bukan pula semacam pengusaha pertanian, atau tuan tanah, yang menangguk nilai lebih hasil kerja para buruh penggarap lahan. Atas dasar konsepsi seperti itu, Soekarno mengajukan premis bahwa petani Marhaen "mengemban tugas sejarah" untuk membawa Indonesia ke sebuah masyarakat adil dan makmur. Premis tersebut juga mencakup arti bahwa masyarakat Indonesia yang adil dan makmur, khususnya di sektor pertanian, harus terdiri dari massa petani Marhaen yang memiliki sendiri lahan pertanian mereka, bukan segelintir minoritas kapitalis yang menanamkan modalnya di sektor pertanian, bukan pula mayoritas proletariat petani yang "memiliki lahan secara kolektif" (alias petani yang menjadi komoditas dalam state capitalism sebuah negara sosialis). Implikasinya jelas: di samping perbaikan nasib Marhaen itu sendiri, diperlukan pula upaya agar kelompok petani yang tidak memiliki lahan bisa menjadi petani Marhaen. Faktor pemilikan pribadi alat-alat produksi oleh kaum Marhaen itu pula yang merupakan salah satu faktor pembeda antara marhaenisme dengan narasi besar marxisme (yakni yang lebih menekankan preskripsi perlunya pemilikan lahan secara kolektif oleh petani proletar).
Marhaen, dalam perspektif Marxist, sebenarnya adalah kelompok "borjuis kecil", pelaku sebuah simple commodity mode of production, yakni yang membatasi penyerapan nilai lebih hanya di dalam lingkungan keluarga sendiri, tanpa eksploitasi nilai lebih yang dihasilkan oleh tenaga buruh sewa. Kelompok "borjuis kecil" seperti Marhaen inilah yang dalam argumen teleologis Marx dan Engels merupakan transitional class, sebuah kelas yang akhirnya akan punah, menjadi bagian proletariat petani, sementara sistem produksinya secara keseluruhan terserap menjadi bagian dari capitalist mode of production (lihat a.l., Mann and Dickinson, 1989). Sebagai kelompok transisional, yang oleh Marx disebut kelompok rural idiots, sikap politik mereka pun penuh ambivalensi, kontradiktif, dan tidak mampu membangun kesadaran kelas serta memelihara kepentingan jangka panjang yang fundamental. Karena itu pula dalam perspektif Marxist, kelompok seperti Marhaen tidak memiliki signifikansi politik; antagonisme dan konflik kelas yang terjadi bukan pula antara kaum Marhaen dengan kapitalis, melainkan antara petani proletar versus kapitalis, di mana di tengahnya "boerjuis kecil" Marhaen bersikap ambivalen.
Akan tetapi dalam marhaenisme, justru kelas proletariat hampir tidak relevan sama sekali bagi konteks Indonesia, dan konflik kelas pun justru terjadi antara Marhaen dengan kapitalis: " . . . in Sukarno's Marhaenism, the concept of proletariat was hardly relevant for Indonesia . . . the class conflict is between Marhaen and capitalist" (Legge, 1972).
Tesis marhaenisme bahwa konflik kelas justru terjadi antara kapitalis dengan Marhaen, bukan dengan kelas proletariat, merupakan salah satu lubang besar dalam rangkaian proposisi Bung Karno tentang Marhaen. Sulit menemukan argumen Bung Karno untuk itu, selain fakta bahwa rangkaian proposisi tersebut didasarkan pengamatan terhadap Marhaen dalam konteks historis spesifik yang ada di Tanah Air pada waktu itu. Petani utuh Bung Karno mungkin memang lebih banyak mengetengahkan Marhaen sebagai konsep deskriptif, menunjuk pada posisi struktural sebuah kelompok petani dalam formasi sosial yang terbentuk di sektor pertanian. Namun di balik itu semua tampak bisa digali dimensi kemanusiaan kaum Marhaen sebagai human agencies dalam struktur produksi pertanian. Berbeda dengan buruh tani yang hanya memiliki tenaga dan keterampilan, atau pun dengan pengusaha pertanian yang hanya menguasai lahan dan modal produksi lainnya, maka Marhaen adalah insan tani yang mampu memelihara the unity of works-labor-means of production. Dari segi itu, Marhaen adalah "petani utuh", yang menghayati dirinya sebagai pekerja sekaligus produsen independen. Mereka melihat aktivitas bertani sebagai a way of life, bukan sekadar aktivitas bisnis untuk kepentingan akumulasi modal, atau sekadar proses di mana ia bisa menjajakan diri sebagai komoditas.
Kualitas itu semuamembuat Marhaen berbeda dengan one-dimensional farmer, seperti buruh tani yang menemukan dirinya hanya sebagai komoditas, atau pengusaha pertanian yang menempatkan dirinya lebih sebagai homo economicus dalam sebuah sirkuit akumulasi modal. Marhaen sebagai human agency, beserta rasionalitasnya, dalam merespons kondisi struktural sektor pertanian mungkin bisa disejajarkan dengan para petani Yeoman di Amerika. Berbeda dengan petani Yankee yang lebih didominasi rasionalitas formal-instrumental dan kalkulus maksimalisasi laba, maka petani Yeoman lebih cenderungmenonjolkan rasionalitas substantif, berpedoman pada tujuan-tujuan aktualisasi diri, pelestarian lahan pertanian, keseimbangan lingkungan, serta pewarisan tradisi (lihat Adams, 1986; Mooney, 1988). Bagi mereka, bertani merupakan bagian dari identitas diri serta keluarga, bukan sekadar aktivitas mencari nafkah atau bisnis (Strange, 1988).
Dalam konsepsinya yang ideal, petani Marhaen, seperti halnya petani Yeoman, memiliki hubungan sentimental dengan tanah pertaniannya; mereka tidak mempersepsikan tanah miliknya sebagai komoditas yang bisa dijual bila kondisi sektor pertanian dinilai tidak menguntungkan lagi. Rasionalitas itu pula yang membuat petani Yeoman dinilai kurang "rasional", kurang "inovatif", kurang sensitif terhadap sinyal-sinyal pasar, dan juga kurang agresif dalam mengeksploitasi lahannya, termasuk dalam penggunaan varietas baru, pupuk, dan pestisida (Mooney, 1988). Hal yang sama tampak juga berlaku bagi kelompok petani dalam kategori Marhaen (lihat a.l., Boeke dalam Adams, 1986). Tetapi justru dengan rasionalitas seperti itu, sejumlah studi membuktikan, petani Yeoman lebih mampu melestarikan lingkungan dan kesuburan lahan mereka. Mereka juga memiliki resistensi lebih tinggi terhadap tekanan struktural yang menyertai penetrasi kapitalismeke sektor pertanian. Rasionalitas substantif semacam itu merupakan agency variable, atau faktor subyektif dalam diri pelaku sosial, yang dalam analisis Weberian (dan juga Marxist Chayanovian) dinilai telah berfungsi menghambat transformasi struktural penetrasi kapitalisme ke sektor agraria. Itu berbeda dengan petani Yankee yang lebih mengintegrasikan diri dalam kapitalis produksi, kemudian bangkrut terjerat kredit atau spekulasi, dan akhirnya menjual lahannya (Mooney, 1988; Strange, 1988).
Bila kita (dulu) bersepakat bahwa tujuan pembangunan adalah membangun manusia seutuhnya, maka Marhaen-dalam posisi struktural serta rasionalitas yang dimilikinya-bisa ditempatkan sebagai representasi sosok manusia yang utuh di sektor pertanian. Karena itu pembangunan sektor pertanian tidak bisa mengacu hanya pada tolok ukur produktivitas, melainkan juga pada kriteria pelestarian dan peningkatan kesejahteraan petani Marhaen, serta transformasi buruh tani menjadi petani Marhaen. Mungkin itulah salah satu relevansi dan implikasi kebijakan pembangunan dari pemikiran Bung Karno tentang Marhaen.
Struktur dan ideologi Namun kompleksitas kekuatan sejarah ternyata telah menempatkan Marhaen bukan lagi bagian dari desain besar masa depan negeri ini. Mereka berangsur-angsur mengalami transformasi diri menjadi one-dimensional man dan pergi mencari masa depan mereka sendiri. Pertanda itu telah muncul sejak beberapa dasawarsa. Berjuta-juta Marhaen mengalami transformasi menjadi buruh tani, pengayuh becak, penggali tanah, kuli bangunan, buruh pabrik atau pekerja "industri keamanan" (sebagai satpam ataupun preman) ketika kriminalitas semakin marak akibat proses marjinalisasi dalam pembangunan. Itu semua terjadi justru pada puncak keberhasilan "Revolusi Hijau" di Tanah Air, ketika produksi beras meningkat 5 persen per tahun dan swasembada beras tercapai tahun 1984 (James et al., 1989). Jumlah petani Marhaen semakin susut. Proporsi rumah tangga pedesaan yang tidak memiliki lahan pertanian lebih dari 0,1 hektar, telah meningkat dari 27 persen di tahun 1960, menjadi sekitar 43 persen tahun 1980 (White, 1986), dan akhirnya diperkirakan kini mencapai lebih dari 50 persen. Petani yang memiliki tanah kurang dari 0,5 hektar telah pula semakin langka, yakni dari sekitar 11 juta di tahun 1980, menjadi 8,7 juta di tahun 1983 (MacAndrews, 1986), dan kini diperkirakan tinggal 4 juta-5 juta. Faktor kultural-demografis (pertumbuhan penduduk dan tradisi membagi tanah warisan) memang merupakan salah satu penyebab.
Namun proses transformasi Marhaen disebabkan pula oleh berbagai tekanan struktural di mana negara turut berperan. Bila marhaenisme semakin kehilangan pijakan struktural yang diperlukan, maka "ideologi pembangunan Orde Baru" semakin kuat melekat dalam struktur ekonomi-politik yang diciptakan. Selama dasawarsa 1970-1980, ketika pembangunan ekonomi Orde Baru mulai melaju, jumlah lahan pertanian milik petani yang dibeli untuk sektor usaha lain (pembangunan pabrik, perumahan, transportasi, dan pemerintahan) mencapai sekitar 40.000 hektar per tahun. (Kompas, 6 Juni 1980) Pembangunan ekonomi serta "Revolusi Hijau" era Orde Baru jelas juga tidak berlangsung dalam suatu vakum politik, tetapi dalam struktur otoritarian sebuah state corporatism atau bureaucratic polity. Sehingga di samping "Revolusi Hijau" itu sendiri pada dasarnya lebih berpihak pada para petani pengusaha (lihat a.l., Lappe dan Collins, 1986; Feder, 1983), maka khususnya di Indonesia, dampak negatifnya semakin berlipat oleh karena "revolusi" itu juga dijalankan menurut logika struktur otoritarian yang mengakomodasi kepentingan menjaga dukungan elite desa terhadap penguasa. Akibatnya, program intensifikasi pertanian lebih menguntungkan segelintir individu yang menjadi aset politik penguasa. (lihat a.l., Mortimer, 1985; White, 1989)
Akibat lebih jauh adalah munculnya kecenderungan pemusatan pemilikan lahan pertanian di tangan kelompok elite desa serta absentee owners yang tinggal di perkota-an.(lihat a.l., MacAndrews, 1986; Siahaan, 1983; Kartodirdjo, 1988) Selama era Orde Baru, diperkirakan sekitar 10 persen petani menguasai lebih dari 50 persen lahan pertanian di pedesaan. Namun, kondisi sebenarnya mungkin lebih buruk karena terbukti sedemikian mudah bagi absentee owners atau tuan tanah untuk mencatatkan tanah mereka atas nama keluarga dekat. (Hardjono 1989; White, 1989) "Kepunahan" kaum Marhaen memang tidak hanya disebabkan oleh faktor kultural-demografis dan faktor struktural. Rasionalitas substansif Marhaen, sebuah agency variable yang diharapkan mampu menangkal tekanan-tekanan struktural, ternyata berangsur juga mengalami erosi, sebagai akibat berbagai mekanisme yang melibatkan peran negara. Terlebih lagi dalam struktur ekonomi-politik yang ada waktu itu, ide-ide turunan "ideologi pembangunan" memang lebih mudah dinilai sebagai sesuatu yang "logis", "wajar", "alamiah" atau "tidak terelakkan". Contohnya adalah ide salah satu Menteri Pertanian era Orde Baru yang mengatakan bahwa pemerintah sangat menganjurkan agar para petani kecil menjual tanah mereka kepada pengusaha pertanianataupun industri. (Kompas, 9 Februari, 1984) Anjuran semacam itu, dan kebijakan sejenisnya, jelas tidak didasarkan empati bahwa lepasnya penguasaan lahan bagi seorang Marhaen merupakan suatu transformasi diri dari "petani utuh" menjadi "one-dimensional man" yang menjajakan diri sebagai komoditas di berbagai sektor kegiatan akumulasi modal. Demikian pula dengan kampanye "komunikasi pembangunan" yang berupaya agar Marhaen lebih agresif mengeksploitasi lahannya, termasuk dalam hal pemanfaatan pestisida dan pupuk-meskipun praktik pertanian semacam itu terbukti mengganggu keseimbangan ekologis, mencemari sumber air, menyebabkan erosi lapisan tanah subur (Margrath dan Arens, 1987), dan berpotensi merusak hubungan sentimental antara Marhaen dengan lahan pertaniannya.
Marhaen memang telah pergi bersama Soekarno; dan mungkin tidak akan pernah kembali. Sebab, semenjak liberalisasi perdagangan global telah menjadi aksioma pembangunan, nasib Marhaen hampir sepenuhnya ditentukan oleh the invisible hands kekuatan-kekuatan pasar. Terlebih lagi kini ketika para ekonom serta elite politik-termasuk elite partai-partainya "wong cilik"-satu per satu kehilangan spirit untukmenulis sendiri sejarah negeri kita, dan mengakui bahwa tidak ada alternatif lain lagi selain mematuhi segala preskripsi dari lembaga-lembaga yang selama ini berperan sebagai instrumen liberalisasi ekonomi global. * Dedy N Hidayat, Dosen Pascasarjana Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, UI.

Media, Sang Penabuh Genderang Perang
* Dedy N Hidayat


KOMPAS, Minggu, 30 September 2001

Seperti pada masa Perang Teluk 1990, dalam tragedi 11 September 2001 media massa di berbagai belahan dunia kembali dituduh telah ikut menabuh genderang perang. Harian New York Post contohnya, menulis bahwa respons yang harus diambil Amerika Serikat (AS) terhadap the unimaginable 21st century Pearl Harbor sebenarnya cukup sederhana: A gunshot ... between the eyes, blow them to smithereens, poison them if you have to ... As for cities or countries that host these worms, bomb them into basketball courts. (Steve Dunleahy, The Man They Call Mr. Blood and Guts, New York Post, 12 September 2001).Bahkan majalah berita sekaliber Far Eastern Economic Review, dalam editorialnya telah mengesampingkan alternatif penyelesaian hukum ataupun diplomatik terhadap tragedi tersebut: Legalism is not an Issue: In Asia as well as in the United States, some are advising that America should not strike back until full evidence is accumulated. The reasonableness camp again is mistaken. The attacks must be understood as acts of war, and in war there is no time to gather evidence to a level sufficient for a court. (No Time to be Reasonable, Far Eastern Economic Review; HYPERLINK http:// ww.feer.com/2001/0109_27.


Sementara itu, di belahan dunia lain, termasuk Indonesia, genderang perang juga ditabuh berbagai media, berisi tidak saja kecaman terhadap arogansi dan kesewenangan Amerika, tetapi juga seruan jihad bila Amerika menyerang Afganistan. Memang isi yang seperti itu terbatas pada sejumlah media, dan umumnya juga pada bagian opini atau editorial. Sebagian besar media, di AS ataupun di Tanah Air, tetap mempertahankan prinsip jurnalistik, yang antara lain memisahkan fakta dari opini dan emosi mereka sendiri. Eksekutif Produser jaringan televisi ABC, Shelley Ross, contohnya, mengemukakan bahwa pada pagi yang tragis itu ia beserta segenap awak liputan memang bekerja sambil menangis; namun, itu tidak berarti tumpahan perasaan mereka bisa mempengaruhi begitu saja apa yang ditayangkan "...we're thinking like journalists. But we're not robots. We work and we cry. We just keep a box of Kleenex ... We've shed a lot of tears in our control room, but it doesn't mean that any tears get in the way" ( "Meeting the Chalenge". American Journalism Review, Sept 25; HYPERLINK "http://ajr.newslink.org).

Fakta dan realitas simbolik
Namun, fakta bukanlah suatu kebenaran objektif. Suatu produk berita, meskipun sepenuhnya didasarkan fakta, hanya akan mampu menyajikan suatu realitas simbolik, yang tidak identik dengan realitas objektif (kalaupun ini ada) tentang tragedi 11 September. Selalu ada masalah faktualitas (factuality) dan impartialitas (impartiality) seputar fakta yang digunakan media dalam memproduksi realitas simbolik peristiwa tersebut. Dari segi faktualitas, meskipun realitas simbolik sepenuhnya didasarkan atas fakta, namun kesemuanya tidak akan pernah lengkap, dan sering kali juga tidak akurat. Selain itu, fakta yang disajikan juga bisa mengundang masalah seputar relevansi. Bagi media di AS umumnya, fakta bahwa semua tersangka pelaku berasal dari etnis Arab, dan beragama Islam, dianggap relevan untuk disertakan; namun, bagi pihak lain mungkin fakta tersebut tidak relevan dan tendensius. Relevansi suatu fakta jelas ditentukan oleh perspektif yang digunakan media untuk mendefinisikan suatu peristiwa; dan perspektif tersebut bisa sepenuhnya bersumber pada faktor individual, tetapi bisa pula terkait dengan faktor struktural, seperti posisi suatu media dalam suatu struktur industri media.
Dari segi impartialitas, fakta yang digunakan memproduksi suatu realitas simbolik, yang bisa terdiri atas opini figur-figur terkait, mungkin pula disajikan secara tidak berimbang, di mana fakta tertentu lebih ditonjolkan (diletakkan sebagai berita utama, atau ditayangkan lebih lama dan diulang-ulang), kemudian dievaluasi berdasarkan opini para pakar dengan komposisi tidak berimbang. Dalam rangkaian peristiwa 11 September, penonjolan (ataupun penghindaran) fakta bahwa Presiden AS mempergunakan kata crusade (perang salib), atau fakta bahwa Perdana Menteri Italia menyatakan "peradaban Barat lebih superior", bisa mempengaruhi impartialitas informasi yang diproduksi media.
Demikian pula penonjolan ataupun penghindaran fakta adanya kelompok Mujahidin di utara Afganistan yang justru menghendaki penyerangan terhadap kelompok Taliban.
Di luar masalah faktualitas dan impartialitas, fakta-fakta seputar peristiwa 11 September itu pun bisa dirangkai sebagai paket (media package) yang pada intinya terbentuk oleh apa yang disebut frames, atau suatu central organizing ideas, melalui ke-ajeg-an media dalam melakukan pilihan, penonjolan, dan penghindaran simbol-simbol bahasa atau konsep tertentu (Gitlin, 1980).
Suatu frames terdiri atas framing devices yang berfungsi mengarahkan individu untuk mendefinisikan apa yang "sebenarnya" menjadi isu di balik rangkaian fakta, serta reasoning devices yang berperan memandu penentuan sikap dan tindakan (Gamson dan Lasch, 1983).
Dalam kasus peristiwa 11 September, kita bisa mengetahui framing devices suatu media lewat ke-ajeg-an penggunaan berbagai metafor, visualisasi, dan exemplar (antara lain peristiwa Pearl Harbor, yang dijadikan contoh sejarah untuk menempatkan aksi teroris 11 September). Sementara itu, reasoning devices suatu media bisa dideteksi melalui analisis sebab akibat, serta imbauan atau klaim moral yang diketengahkan media.
Konspirasi atau struktur?
Adanya masalah-masalah faktualitas dan impartialitas, serta berbagai frames yang dipergunakan media untuk merangkai fakta-fakta seputar tragedi 11 September, telah menyebabkan media kini dituduh sebagai penabuh genderang perang, seperti halnya pada masa Perang Teluk satu dasawarsa yang lalu.
Ketika itu media Amerika dinilai telah memecut histeria perang, dan mempromosikan solusi militer terhadap krisis yang terjadi di Teluk Persia. Ketika akhirnya militer AS dikirim ke wilayah krisis, media memberi sambutan positif. Selama berminggu-minggu wacana media di AS mengesampingkan suara yang menentang ataupun mengkhawatirkan konsekuensi aksi militer; isi media didominasi berita dan komentar yang mendukung kebijakan militer AS, menjadikan media seolah alat propaganda (Kellner, 1992).
Sejumlah analisis mengaitkan realitas simbolik yang diproduksi media AS selama Perang Teluk itu dengan semakin menguatnya korporasi-korporasi besar di negara adikuasa itu.
Selama era pemerintahan Presiden Reagan, dan Presiden Bush, deregulasi industri media telah memungkinkan sejumlah konglomerasi mengambil alih atau melakukan merger dengan sejumlah media dan jaringan televisi.
Time Inc contohnya, merger dengan Warner Communication Inc, kemudian jaringan televisi ABC dengan Capital Cities Communications, CBS dengan Tisch Inc. Secara keseluruhan hal itu meningkatkan konsentrasi dalam industri media, yang semula dikuasai 46 korporasi komunikasi, menjadi semakin terpusat di tangan 23 korporasi raksasa. Masing-masing korporasi juga merupakan bagian dari struktur konglomerasi yang bergerak di berbagai sektor industri media dan hiburan, hingga sektor-sektor industri perbankan, manufaktur, ataupun industri pertahanan (Herman dan Chomsky, 1988; Bagdikian, 1990).
Analisis para instrumentalis (khususnya yang menggunakan teori Herman dan Chomsky tentang Propaganda Model, 1980), melihat bahwa karena kepentingan para konglomerat media itu semua terkait dengan kebijakan ekonomi konservatif pemerintahan Presiden Bush, maka liputan media yang mereka kuasai selama Perang Teluk juga berfungsi mendukung kebijakan perang sang Presiden.
Media, khususnya televisi, tidak lagi menempatkan diri sebagai wadah publik untuk memperdebatkan kebijakan yang menyangkut harkat hidup publik, ataupun mempertanyakan disinformasi dan propaganda pemerintah, tetapi justru menjadi instrumen untuk mendukung kebijakan Gedung Putih dan Pentagon (lihat, a.l., Kellner, 1992).
Analisis-analisis semacam itu secara langsung melihat adanya konspirasi antara pekerja media, pemilik modal, dan penguasa, yang memiliki kesamaan kepentingan ideologi untuk menggunakan media sebagai instrumen politik mereka.
Namun, di lain pihak, kelompok strukturalis melihat dukungan media terhadap kebijakan perang AS tersebut lebih disebabkan oleh faktor-faktor yang melekat dalam struktur industri media di AS sendiri.
Tekanan persaingan dalam struktur industri media (yang diwujudkan melalui TV rating, dan sebagainya), struktur produksi berita dalam organisasi media (yang antara lain menekankan standar newsworthiness tertentu) dan sebagainya, telah menyebabkan para pekerja media berlomba menyajikan krisis Irak-Kuwait sebagai komoditas-tanpa perlu adanya tekanan dari, atau konspirasi dengan pemilik modal dan penguasa.
Ideologi media dengan demikian tidak hanya ada di benak para pekerja industri media, tetapi melekat dalam struktur industri yang dijalani dalam keseharian para pekerjanya.
Media, mungkin memang memiliki karakteristik yang unik dibanding institusi kapitalis lainnya; sebab media justru diuntungkan oleh krisis, dan dirugikan bila segala sesuatunya berjalan normal: "... media thrive on crisis and are threatened by normalcy" (Raboy dan Dagenais, 1992).
Faktor struktural yang sama tampaknya kini kembali berperan dalam krisis Afganistan. Faktor struktural serupa mungkin juga banyak berperan dalam industri media di Tanah Air, selama masa Perang Teluk, ataupun masa-masa krisis lain yang terjadi di Tanah Air sendiri.
Barang tentu, kelompok konstruktivis, yang menekankan adanya interplay antara struktur dan agensi (seperti Mosco, Golding, dan Murdock yang dipengaruhi teori strukturasinya Giddens), tidak sepenuhnya menerima proposisi the primacy of structure over agency seperti dikemukakan perspektif strukturalis. Sebab, para jurnalis sebagai human agents mampu memberikan reaksi terhadap struktur politik-ekonomi industri media. Selalu ada pekerja industri media yang menilai peperangan dan tindakan saling membunuh sesama manusia sebagai tindakan barbar, dan karenanya melakukan tindakan jurnalistik sesuai dengan keyakinannya itu.
Akan tetapi, toh dalam konteks situasional tertentu, seperti ketika media berlomba menjadikan krisis sebagai komoditas, maka struktur yang ada menjadi amat berperan dalam membatasi ruang gerak dan pilihan-pilihan yang dimiliki para pekerja industri media.
Pemahaman ini sekaligus menempatkan economic determinism dalam pengertian yang lebih luwes: faktor-faktor struktural ekonomi tidak sepenuhnya menentukan, tetapi membatasi lingkup gerak dan pilihan yang tersedia bagi human agencies. Sebab, bagaimanapun juga media dalam sebuah sistem kapitalis, pertama-tama adalah institusi kapitalis, bukan instrumen politik luar negeri.

Realitas subjektif
Pertanyaan yang akhirnya muncul adalah, apakah realitas simbolik yang ditampilkan media benar-benar menjadi realitas subjektif dalam diri khalayak yang berada di luar struktur industri media. Atau, apakah genderang perang yang ditabuh media AS bertanggung jawab terhadap histeria perang yang tercermin melalui hasil berbagai jajak pendapat, dan serangan fisik terhadap tempat ibadah dan warga Arab-Amerika di berbagai wilayah Amerika? Apakah media massa kita turut bertanggung jawab juga terhadap munculnya aksi sweeping atau seruan jihad di Tanah Air?
Analisis studi budaya (cultural studies) ataupun teori-teori postmodernisme cenderung terjebak dalam penyimpulan bahwa realitas simbolik (teks isi media atau artifak kultural lainnya) secara langsung juga memperlihatkan efek yang akan ditimbulkannya terhadap realitas subjektif (persepsi dan sikap khalayak yang mendasari tindakan mereka). Dengan kata lain, hegemoni suatu ideologi dalam isi media bisa secara langsung memperlihatkan adanya hegemoni ideologi tersebut dalam kesadaran individu. Namun, studi-studi empirik memperlihatkan kurang adanya hubungan linear satu arah antara realitas simbolik dan realitas subjektif.
Hegemoni selalu melibatkan proses kontra hegemoni. Khalayak sebagai human agents selalu mampu bereaksi dan mempertanyakan realitas simbolik yang diketengahkan media; mereka pun mampu menyusun struktur wacana atau frames tandingan untuk melakukan oppositional readings atau memberi makna tandingan terhadap makna realitas simbolik yang mereka konsumsi melalui media. Dengan itu pula, realitas "objektif" seputar tragedi 11 September lebih merupakan sebuah konstruksi sosial, yang melibatkan interaksi timbal-balik antara berbagai realitas subjektif dan realitas simbolik Khalayak hanya akan melakukan dominant readings, dan menjadikan realitas simbolik sebagai bagian dari realitas subjektif mereka, bila unsur-unsur realitas simbolik (seperti framing devices dan reasoning devices dalam teks isi media) memiliki resonansi kultural dengan realitas subjektif yang dihayati khalayak dalam posisi struktural mereka. Penggunaan exemplar seperti "Pearl Harbor" jelas lebih memiliki resonansi kultural dengan khalayak di Amerika. Sebaliknya, frames "arogansi Amerika" lebih memiliki resonansi budaya dengan individu-individu yang dalam kesehariannya menempati posisi subordinat dalam struktur hubungan yang timpang antara negara maju dan terbelakang.
Dan, genderang perang ditabuh bersahutan hanya antara media dan mereka yang memang dalam posisi ingin berperang.
* Dedy N Hidayat, Pascasarjana FISIP-UI.

Wednesday, May 17, 2006

KOMPAS, Rabu, 16 Februari 2005

"Bubble Politics" Presiden Yudhoyono
Oleh Dedy N Hidayat
PEMILIHAN Umum 2004 telah menciptakan mode of power production yang kian mengandalkan "gelembung politik" (bubble politics). Melalui kampanye dan manajemen persepsi, realitas Susilo Bambang Yudhoyono telah "digelembungkan" menjadi citra unggulan, yang dipertarungkan merebut investasi dukungan suara di bursa politik.
Proses rasional pemilihan presiden memang seolah telah direduksi menjadi sekadar masalah periklanan dan kehumasan. Dengan dana kampanye yang kian membengkak, realitas para kandidat direkayasa menjadi citra-citra unggulan. Alhasil, muncul diskrepansi, atau gap, antara citra kandidat yang tertanam dalam persepsi pemilih dan realitas potensi kinerja yang dimilikinya. Masalahnya akan muncul bila pemenang pemilu, Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), gagal menciptakan ekuilibrium "gelembung" atau gap antara citra yang dimiliki dan realitas kinerjanya.
Memang selalu ada mekanisme koreksi diri yang menjaga supaya gap antara citra SBY (beserta ekspektasi yang melekat pada citranya) dan realitas kinerja pemerintahannya tetap berada dalam kondisi berimbang (atau near-equilibrium condition). Antara lain, mengutip Soros, publik mengamati kinerja pemenang pemilu tidak seperti yang dicitrakan atau diharapkan, tetapi tetap memberi toleransi, dengan cara menyesuaikan harapannya (George Soros, The Bubble of American Supremacy, 2004). Dalam konteks Indonesia, toleransi semacam itu juga didasari kesetiaan primordial, khususnya untuk segmen tertentu di partai-partai "tradisional", seperti pendukung Megawati dalam PDI-P (yang bersemboyan "pejah gesang nderek Bu Mega", atau "mati hidup ikut Bu Mega"). Namun, segmen fanatik serupa tampak belum tumbuh cukup kuat di antara pendukung SBY.
Bila ekuilibrium terlampaui, "gelembung" SBY akan "mengempis" atau justru "meletup". Probabilitas terjadinya political crash (yang memaksa presiden mundur sebelum waktunya) akibat guncangnya ekuilibrium citra-realitas SBY, saat ini memang masih bisa dikesampingkan. Tetapi akibat lain, seperti turunnya dukungan publik terhadap kebijakan-kebijakan SBY, melemahnya bantuan kalangan pro-SBY dalam menghadapi sikap kritis kelompok oposan, ataupun ditariknya investasi suara pada pemilu mendatang, semuanya patut diperhitungkan serius.
"Boom" dan "bust"
Berbeda dengan Megawati, SBY memasuki bursa Pemilu 2004 saat mengalami boom, yang antara lain ditunjukkan oleh besarnya dukungan dalam perolehan berbagai jajak pendapat. Nyaris semuanya berkat citra SBY sebagai sosok yang dinilai berjiwa pemimpin, mandiri, santun, moderat, dan punya emotional quotient tinggi dalam menghadapi konflik. Lebih penting lagi, SBY ditampilkan dalam citra tokoh perubahan.
Di lain pihak, Megawati dan PDI-P ketika itu telah melampaui masa boom, dan memasuki periode bust; antara lain akibat runtuhnya ekuilibrium antara citra sebagai tokoh partainya wong cilik yang berorientasi kerakyatan, dan realitas Megawati yang elitis serta kebijakan-kebijakan yang dinilai para pakar lebih didasarkan paham ekonomi neo-liberalisme (lihat al, Revrisond Baswir, "Paham Ekonomi Partai Dalam Konteks Bisnis dan Politik", Jurnal Reformasi Ekonomi, Vol 5/1; 2004).
Namun hanya sesaat setelah dilantik, ekuilibrium antara citra dan realitas SBY sebagai tokoh perubahan mulai terganggu. Tepatnya dalam proses penyusunan kabinet, ketika SBY ditampilkan media seolah just another politician, sama seperti umumnya politikus lain, yang tunduk pada realitas politik "dagang sapi". Apalagi kabinet yang akhirnya tersusun dinilai bukan sebuah dream team untuk melakukan perubahan.
Citra SBY tentu juga terkait dengan citra dan kinerja para pembantunya. Kasus seperti Wakil Presiden Jusuf Kalla yang merangkap jabatan Ketua Umum Partai Golkar memang bukan hal baru. Namun, bagi citra SBY sebagai tokoh perubahan, pengulangan praktik lama semacam itu bisa melunturkan ekspektasi publik akan perubahan. Meskipun langkah Wakil Presiden akan memperkuat dukungan parlemen, namun dukungan publik-yang notabene juga sumber legitimasi politik bagi parlemen-mungkin justru melemah.
Masalah serupa juga muncul ketika pemerintahan SBY bersikeras, bahkan memperlihatkan arogansi kekuasaan, untuk melanjutkan ujian akhir nasional (UAN) dalam bentuk ujian nasional (UN). Padahal, berbagai kalangan publik dan pakar mengamati hal itu sebagai pertanda tidak akan ada pembaruan atau perubahan dalam bidang pendidikan. Keduanya dinilai sebagai upaya pintas yang salah jalur dalam meningkatkan mutu pendidikan dan hanya akan menghamburkan biaya.
Ekuilibrium citra-kinerja SBY sebagai tokoh perubahan juga akan semakin terganggu bila memunculkan tendensi bangkitnya paradigma Orde Baru. Contohnya bila SBY menyetujui serangkaian Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) yang memuat kewenangan pemerintah untuk menguasai proses perizinan penyiaran dan untuk memberi sanksi pada lembaga penyiaran. Kewenangan itu semua melecehkan produk hukum paradigma reformasi (Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2002) yang menetapkan bahwa izin penyiaran diberikan oleh negara (bukan executive branch of government) melalui Komisi Penyiaran Indonesia, dan yang sama sekali tidak menetapkan wewenang bagi pemerintah untuk memberi sanksi kepada lembaga penyiaran.
SBY juga telah terjebak ritual "seratus hari pertama". Dampaknya, ia dipojokkan dalam citra bagai Presiden Roosevelt, yang dalam seratus hari mampu mengembalikan kepercayaan publik melalui kebijakan-kebijakan terobosan (New Deal-Keynesian economy) untuk mengatasi depresi ekonomi negaranya akibat kegagalan ekonomi pasar liberal. Padahal, kabinet SBY, yang banyak diisi pengusaha itu, belum mampu membuat terobosan "ideologi" pembangunan, masih terbelenggu kaidah ekonomi pasar neo-liberal, seperti tercermin melalui sikap pemerintah seputar swastanisasi, liberalisasi, dan pengurangan berbagai subsidi. Itu pun diperparah oleh "ideologi ekonomi" para menteri dan pembantu SBY, seperti yang mencuat melalui ucapan agar "... nasionalisme dikantongi saja", atau "Kalau tak mampu beli ya jangan pakai Elpiji..."
Fundamental politik
Hal-hal di atas hanyalah sebagian dari persoalan yang berpotensi menurunkan citra SBY sebagai tokoh perubahan. Namun, itu mungkin ikut memengaruhi totalitas penilaian terhadap SBY. Jajak pendapat harian ini, contohnya, menemukan indikasi tingkat kepuasan terhadap kinerja dan juga tingkat keyakinan terhadap kemampuan SBY dalam menangani berbagai persoalan bangsa mengalami penurunan cukup signifikan selama 100 hari pertama pemerintahannya (lihat Kompas, 28/1).
Dengan liberalisasi politik, khususnya penerapan sistem pemilihan langsung, suara pemilih sebagai the currency of politics telah mengalami apresiasi nilai. Karenanya, yang "fundamental" bagi suatu rezim politik bukan lagi hanya pencapaian-pencapaian politik seperti dukungan Dewan Perwakilan Rakyat, ataupun kinerja perbaikan ekonomi, tetapi juga pemantapan citra Presiden dalam persepsi publik yang akan melakukan investasi dukungan suara mereka, baik melalui pemilu, jajak pendapat, ataupun unjuk rasa.
Dengan sistem pemilihan Presiden langsung, indikasi meningkatnya mobilitas investasi suara juga semakin terlihat, antara lain dari beralihnya pendukung Megawati ke SBY, dan juga menurunnya, perolehan suara partai-partai "tradisional" yang semata-mata mengandalkan loyalitas primordial tanpa mengolahnya menjadi sebuah citra baru. Mobilitas itu pun bukan semata disebabkan perubahan citra atau perubahan kinerja, tetapi juga runtuhnya ekuilibrium antara citra dan kinerja.
Siklus boom and bust juga akan berlaku untuk bubble politics SBY. Setelah boom Pemilu 2004, SBY mungkin akan memasuki periode bust bila dia gagal menjaga ekuilibrium antara citra dan kinerja. Pertama, bila kinerja SBY kurang baik, namun di lain pihak terus "memompa" citra tokoh perubahan dengan janji-janji yang memperbesar ekspektasi publik. Kedua, bila kinerja SBY mengha- silkan perubahan nyata, tetapi menemui masalah komunikasi, atau terganggu citra para pembantunya, dalam memasyarakatkan prestasi tersebut untuk merawat citranya sebagai tokoh perubahan di mata publik.
Tentu SBY boleh mengatakan "I don’t care" dengan semua hal di atas bila tak berniat mencalonkan diri sebagai presiden untuk kedua kalinya, dan ingin sejarah menulis dirinya sebagai just another president.
Dedy N Hidayat Dosen Pascasarjana Komunikasi UI

Tuesday, May 09, 2006

Amerikanisasi Industri Kampanye Pemilu

Oleh: Dedy N Hidayat

GELOMBANG demokratisasi yang melanda Indonesia dan negara lain di dunia ternyata telah menciptakan pasar yang amat menjanjikan bagi para konsultan kampanye. The third wave of democratization itu juga dimanfaatkan para electioneer-atau konsultan kampanye profesional dari Amerika-untuk melakukan ekspansi global, mengekspor jasa konsultasi strategi, taktik, dan teknik pemenangan pemilu ke berbagai negara demokrasi baru. Namun, kontribusi industri kampanye pemilu bagi peningkatan kualitas demokrasi harus terus dipertanyakan.
Di Tanah Air, benih-benih tumbuhnya industri kampanye pemilu, atau bisnis the selling of the president, kini kian jelas. Berpuluh mahasiswa dan sarjana ilmu komunikasi sebuah perguruan tinggi negeri telah direkrut sebagai tenaga profesional nonpartisan dalam berbagai tim kampanye partai politik, calon presiden, atau calon anggota legislatif. Sejumlah agen periklanan dan kehumasan (domestik dan asing) juga telah menerima kontrak pelaksanaan kampanye.
Selain itu, beberapa electioneer dari mancanegara pun kini sedang bekerja untuk kontestan yang mampu membayar sesuai tarif dollar yang ditawarkan. Kelompok electioneer profesional dari dalam maupun luar negeri itulah yang kini sebenarnya berperan sebagai elite kekuasaan baru dalam proses mengonstruksi salah satu elemen penting budaya berdemokrasi di Tanah Air.
Pengaruh tumbuhnya industri kampanye atas kultur berdemokrasi di Tanah Air lebih lanjut akan ditentukan oleh sejumlah kecenderungan global dalam kampanye pemilu. Kecenderungan pertama, peran televisi dalam kampanye kian meningkat: aktivitas berkampanye kian banyak direkayasa dan dikemas agar sesuai format televisi; porsi dana kampanye untuk iklan politik di televisi pun juga terus meningkat.
Bila selama era 1970-an hanya empat negara yang mengizinkan iklan politik di televisi (Amerika Serikat, Kanada, Australia, dan Jepang), pada akhir 1990-an sekitar 50 negara mengizinkan penggunaan ranah publik itu bagi iklan politik (Plasser, 2001). Debat di televisi antarkontestan juga kian menjadi faktor penting (Coleman, 2000). Dari jumlah, selama 1970-1999, negara yang menyelenggarakan debat televisi meningkat dari 10 menjadi sekitar 35 (Plasser, 2001).
Kecenderungan global itu memperkaya gaya kampanye yang selama ini dominan di Dunia Ketiga, yang menonjolkan pawai massa, apel akbar, dan bentuk-bentuk pengerahan massa lainnya. Atau memberi corak baru terhadap gaya kampanye di Inggris dan sejumlah negara Eropa Barat yang secara tradisional lebih mendasarkan diri pada pendekatan akar rumput.
Kecenderungan global kedua, kian meningkatnya keterlibatan para electioneer profesional dari luar partai (Thurber dan Nelson, 2000), dan itu semakin menggeser peran para "amatir" dari kalangan kader partai sendiri (Johnson, 2000). Kecenderungan ketiga, kian terfokusnya kampanye pada individu kandidat atau tokoh wakil partai. Hal ini membuat pemilu seolah kontes antarindividu, bukan lagi antarpartai (Mughan, 2000).
Dasi dan citra
Kecenderungan global itu semua bermuara pada praktik kampanye di Amerika, yang diakui sebagai the international role model of campaigning (Scammel, 1998), dan selalu menyajikan the cutting edge of electioneering innovation (Blumler et al, 1996). Pemilu di Amerika sendiri telah lama menjadi sebuah industri besar, diperebutkan oleh ribuan electioneer profesional serta lembaga jasa konsultasi, dan rata-rata membelanjakan dana sekitar enam miliar dollar AS per tahun pada masa pemilu (Plasser, 2001), atau sekitar tiga kali anggaran Pemerintah Indonesia selama tahun 2003.
Ekspansi global industri jasa kampanye juga didorong banyaknya kontestan, termasuk dari Indonesia, yang membutuhkan polesan jasa para electioneer Amerika. Hasil survei Global Political Consultancy (Plasser, 2000) memperlihatkan, dari semua konsultan kampanye berwarga negara Amerika, hampir seperempat di antaranya (23 persen) pernah atau tengah bekerja sebagai spesialis kampanye di satu negara tertentu di luar Amerika, dan 15 persen lain tergolong super electioneer dengan bidang spesialisasi kampanye di dua atau lebih negara.
Lembaga penyedia "jasa demokratisasi" maupun donor seperti National Endowment for Democracy (NED), Soros Foundation, International Republican Institute (IRI) juga amat berperan dalam "Amerikanisasi" global praktik kampanye, antara lain melalui program-program untuk mendatangkan konsultan dari Amerika (bagi partai-partai tertentu).
Lingkup kerja para electioneer dalam industri kampanye di negara-negara demokrasi baru bisa mencakup penentuan teknik, taktik, atau strategi pemenangan pemilu bagi rekanan mereka. Dalam tataran teknik, mereka terlibat penentuan pakaian dan dasi, serta pemilihan slogan-slogan yang akan dibawakan kontestan (Lasota, 1999), atau pembuatan iklan politik dan materi kampanye lain, pendekatan ke media, penyiapan penampilan kontestan di media, pemilihan media dan penentuan target kampanye.
Mereka juga berperan dalam penentuan dan pelaksanaan taktik kampanye tertentu. Salah satu yang beberapa tahun terakhir ini banyak dijalankan adalah taktik deliberate priming (Farrel, Kolodny, Medvic, 2001). Dalam taktik ini, para electioneer pada intinya melakukan tiga hal utama.
Pertama, menentukan isu-isu yang dinilai penting oleh segmen calon pemilih (biasanya berdasar jajak pendapat). Kedua, membuat analisis penentuan isu yang paling menguntungkan individu kontestan dan mengabaikan isu-isu persoalan lain (meski itu dalam platform partai merupakan isu sentral sekalipun). Ketiga, merekayasa citra kontestan sesuai isu persoalan yang dipilih, merancang pesan dan simbol yang diperlukan, serta merencanakan pemanfaatan media, semuanya untuk mengusahakan agar calon pemilih terfokus pada isu yang telah dilekatkan pada kontestan.
Strategi kampanye yang diterapkan para electioneer bisa beragam, namun umumnya diawali dengan analisis positioning, atau analisis "posisi pasar" partai atau kontestan, yang hasilnya kemudian dipergunakan untuk menentukan langkah strategis selanjutnya. Kontestan yang menempati posisi pasar sebagai nicher (unggul di segmen pemilih tertentu), contohnya, akan menerapkan langkah- langkah strategis hingga taktik serta teknik kampanye yang berbeda dengan kontestan yang menempati posisi sebagai market leader, challenger, dan sebagainya (Collins dan Butler, 1996).
Mengemas politisi busuk
Penerapan ilmu para electioneer mancanegara dalam konteks situasi dan budaya politik yang berbeda, seperti Indonesia, jelas belum tentu efektif. Karena itu pasti akan memperoleh modifikasi penyesuaian. Tetapi yang lebih penting diamati adalah kontribusi semua teknik, taktik, dan strategi yang diimpor dari mancanegara itu bagi peningkatan kualitas demokrasi.
Dari satu sisi, impor teknik, taktik, dan strategi mungkin akan banyak membantu mengurangi budaya kampanye yang mengeksploitasi sentimen primordial, mengandalkan pengerahan kekuatan fisik massa, dan sering kali berdarah-darah. Namun, di sisi lain, industrialisasi kampanye pemilu dikhawatirkan akan menurunkan kualitas pemilu dalam sebuah demokrasi. Industrialisasi kampanye pemilu dinilai telah menciptakan budaya kampanye berbiaya tinggi ke berbagai negara yang tidak mampu (Ottaway dan Chung, 1999) sehingga hanya menguntungkan kontestan berkocek tebal.
Ketika dua top electioneer Amerika (Arthur Finkelstein dan James Carville, mantan konsultan kampanye Bill Clinton, 1992) saling berhadapan dalam pemilihan Perdana Menteri Israel 1999 (antara Barak dan Netanyahu), kampanye yang berlangsung digambarkan sebagai duel yang lebih menghargai penyederhanaan atas suatu kompleksitas persoalan lebih mementingkan lontaran kejutan daripada substansi isu masalah, dan meletakkan kemenangan pada hari pemilihan di atas hal apa pun lainnya (Nagourney, 1999).
Industri kampanye pemilu juga bisa mengarah pada kondisi di mana rekayasa citra individu kontestan yang dihasilkan para electioneer, atau pesona selebriti yang dimiliki aktor macho semacam Arnold Schwarzenegger dan Ronald Reagan, menjadi lebih penting daripada platform dan isu yang diperjuangkan partai. "Politisi busuk" bisa dipasarkan dalam kemasan seorang pahlawan dari masa lalu yang tidak berhubungan sama sekali dengan masalah masa kini. Semuanya dimungkinkan oleh penerapan strategi, taktik, dan teknik komunikasi pemasaran yang sistematis dan rasional.
Itulah irasionalitas sebuah rasionalitas. Pemilu mungkin bukan lagi masalah pilihan antara hidup dan mati, namun di sisi lain mungkin hanya akan menjadi sekadar persoalan memilih minuman ringan: Coca Cola atau Pepsi?
Dedy N Hidayat Pengajar Pascasarjana FISIP UI

Presiden "Market-Friendly Dictator"

Oleh: Dedy N Hidayat

SIAPA yang menjadi pemenang pemilu presiden memang ditentukan rakyat. Namun, apa yang kemudian dijalankan sang pemenang bisa lebih ditentukan "konstituen pasar" yang tersebar di sejumlah sentra finansial global.Akibatnya, janji pemilu yang "populis" amat mungkin digantikan kebijakan yang market friendly, meski hal itu di banyak negara terbukti memerlukan represi.Skala pengaruh kekuatan pasar global sebenarnya bisa diamati dari kasus berakhirnya rezim Orde Baru. "The markets would vote with their dollars when Soeharto chooses his next economic team." Itulah peringatan Mondale, utusan Presiden Clinton, yang membujuk agar Presiden Soeharto sepenuhnya melakukan liberalisasi ekonomi, sesuai tuntutan IMF. Seorang kolumnis bahkan menerjemahkannya dalam nada ancaman sarkastis, "Install a bunch of IMF-bashing cronies and your economy will be washed into the South China Sea" (Sanger, The New York Times, 7 Maret 1998).Ketika kemudian Soeharto mengisi tim ekonomi kabinet dengan sejumlah kroni, yang dinilai akan menghambat liberalisasi ekonomi, pasar spontan memberi reaksi negatif. Rupiah kian terpuruk, saham berjatuhan, dan krisis ekonomi pun semakin berkembang menjadi krisis legitimasi politik yang terbukti fatal bagi rezim Soeharto.Namun, pengalaman Amerika Latin memperlihatkan, kekuatan pasar global tidak hanya menghakimi malpraktik ekonomi rezim authoritarian crony-capitalism seperti Orde Baru, tetapi juga kebijakan ekonomi rezim demokratis yang berorientasi pada kesejahteraan rakyat banyak sekalipun. Kekuatan pasar akan menghakimi suatu rezim yang menempuh kebijakan tak ramah pasar, baik kebijakan yang melindungi kepentingan ekonomi para kroni ataupun kebijakan yang dinilai "populis" dan tidak mendukung ekspansi global perdagangan bebas.Itu sekaligus berarti peluang dan kedaulatan pemenang suatu pemilu, untuk memenuhi janji-janjinya yang "populis", telah dibatasi kekuatan pasar global, yang elemen-elemennya ada di luar jangkauan kewenangan negaranya.Dominasi pengaruh rezim pasar global sebagian bersumber pada konglomerasi transnasional, organisasi internasional semacam WTO, atau institusi ekonomi multilateral, khususnya World Bank dan IMF. Dua lembaga terakhir itu dinilai menjalankan fungsi ideologis kepentingan liberalisasi pasar global (Wood, 1989), yang memperjuangkan kepentingan akumulasi modal, kebebasan pergerakan barang, jasa, serta modal, dan karena itu tidak hanya menentang sosialisme tetapi juga kapitalisme nasionalistis yang penuh intervensi dan proteksi negara.Program "populis"Dalam struktur ekonomi politik global saat ini, tekanan utama bersumber dari pasar finansial internasional. Ini disebabkan perubahan struktural ekonomi global pascasistem Bretton-Woods (awal 1970- an). Bila pada era 1970-an, 90 persen transaksi berkaitan dengan sektor riil dan hanya 10 persen di sektor finansial, di tahun 1990-an komposisi itu justru terbalik. Terlebih lagi, pasar finansial, dengan mobilitas modal sekitar 1,5 triliun dollar AS per hari itu, sebagian besar tak berhubungan dengan investasi jangka panjang di sektor riil, tetapi lebih sebagai investasi spekulatif, yang memiliki tingkat mobilitas global amat tinggi, memburu peluang investasi paling aman dan menguntungkan, di mana pun juga, dan betapa pun singkatnya investasi itu (Chomsky, 2000; Arrighi, 1997).Dalam struktur seperti itu, pendorong utama mobilitas modal adalah the sudden changes of hearts atau fear and greed para pemegang modal (Beeson, 1998; Borsuk, 1999). Faktor-faktor itu semua amat peka terhadap berbagai informasi; bahkan rumor pun mampu mendorong terjadinya pergerakan pasar yang negatif.Sebagai bagian struktur ekonomi global seperti itu, maka proses dan hasil pemilu di Tanah Air juga selalu menyampaikan sinyal tertentu bagi pergerakan di pasar finansial. Faktor-faktor seperti perimbangan kekuatan eksekutif- legislatif, platform dan program presiden terpilih, susunan tim ekonomi kabinet, dan akhirnya kebijakan ekonomi yang ditempuh, semua itu akan menentukan market-friendliness dan skala mobilitas modal yang diakibatkan. Perlu disimak, "...financial markets have become judge and jury of economic policy making" (Pennar, 1995).Platform dan program lima parpol terbesar pemilu legislatif 2004 memuat visi dan janji-janji yang di satu sisi "menyejukkan" massa pemilih, tetapi di sisi lain juga bisa dinilai sebagai program yang "populis", menghalangi akumulasi modal ataupun membatasi kebebasan pergerakan barang, jasa, dan uang.Sebuah parpol, yang kini memunculkan calon presiden (capres) menyatakan akan menopang perjuangan buruh, mendukung hak mogok, dan menghentikan intervensi pemerintah yang meletakkan kepentingan buruh di bawah kepentingan modal dan kekuasaan. Platform partai capres lain berisi janji memperjuangkan sistem ekonomi yang berpihak pada usaha kecil, menengah, dan koperasi. Dijumpai pula program partai yang menjanjikan proteksi impor produk pertanian, asuransi kesehatan bagi seluruh warga miskin, pendidikan gratis hingga jenjang SMU.Peluang represiMemang nada "populis" dalam platform, visi, dan program partai-partai besar, cenderung diperhalus. Platform untuk lebih berpihak pada kepentingan ekonomi kecil dan koperasi, contohnya, disertai klausul tidak akan menafikan tumbuhnya konglomerasi. Ini sejalan dengan peringatan dari sejumlah pakar ekonom liberal kita agar pemerintahan baru kelak menghindari kebijakan yang terlalu populis. Namun, pemilihan presiden juga akan membuat kampanye cenderung menonjolkan janji-janji "populis". Terlebih lagi yang diperebutkan adalah suara mayoritas warga masyarakat yang kondisi ekonominya masih memprihatinkan.Dapatkah presiden terpilih menempuh kebijakan yang "populis" dan "tidak ramah pasar" jika dihadapkan pada munculnya sanksi dan reaksi negatif pasar, khususnya pasar finansial global?Realitas ekonomi politik global mungkin memaksa presiden baru kita nanti lebih banyak memilih kebijakan yang market friendly karena semua kiprahnya kelak berlangsung di bawah hegemoni neoliberalisme. Bila itu terjadi, bukan hanya berarti pengingkaran janji kepada massa pemilih, tetapi juga merupakan kondisi yang berpotensi menjadikan sang presiden baru sebagai market-friendly dictator. Sebab, dalam konteks Dunia Ketiga, kebijakan ekonomi liberal yang market friendly sering harus didukung oleh langkah represif dari penguasa. Pengalaman Meksiko dan Cile memperlihatkan kebijakan menekan upah buruh demi menarik investor, harus didukung tindakan represif terhadap serikat buruh; kebijakan liberalisasi perdagangan untuk impor produk pertanian, harus diamankan dengan menumpas gerakan petani yang dirugikan.Dalam konteks pemilu saat ini, dambaan memperoleh presiden yang mampu menjadi strong leader, bisa bermakna ganda: presiden yang kuat menghadapi tekanan neoliberalisme global, atau yang kuat menekan rakyat korban liberalisasi ekonomi.Dedy N Hidayat Dosen Pascasarjana FISIP UI

"Kompas" Mencari Kompas

Oleh: Dedy N Hidayat

Tentu muncul segmen pembaca yang mendukung perubahan harian Kompas, dan ada pula yang keberatan. Tetapi lebih adil bila kita melihat Kompas sebagai wujud dalam never ending process of becoming. Sebab, Kompas harus terus terbit menembus era yang berbeda-beda.
Namun, masalah yang perlu dijawab adalah adakah ”revolusi” dalam ”revolusi” yang kemarin dimulai Kompas? Adakah perubahan dalam perubahan itu sendiri? Apakah perubahan yang dilakukan Kompas berbeda dengan yang dilakukan koran lain di segmen pasar yang dimasuki Kompas?
Segmen tertentu
Untuk segmen tertentu pembaca Kompas, sebagian identitas sosial mereka telah lekat dengan harian ini. ”I am what I read” kata seorang guru besar pelanggan Kompas. Bagi segmen itu, Kompas telah menjadi simbol yang dipakai mendefinisikan keberadaan sosial mereka; sekaligus suatu kontinuitas asupan definisi realitas yang menjadi kompas dalam proses transformasi konsep diri dan melakukan mobilitas sosial simbolik. Namun, kemarin pagi, identitas, simbol, dan kompas itu seolah telah digantikan oleh sesuatu yang lain.
Konsepsi sebagai pihak yang mampu menahan diri, mengetengahkan moderasi sikap, bertutur high context penuh kedalaman, misalnya, amat mungkin merupakan konsepsi diri yang ingin dibentuk oleh segmen publik tertentu dengan menggunakan harian ini sebagai simbol dan kompas. Karena itulah, tampilan Kompas baru, mungkin tidak sepenuhnya sesuai konsepsi diri segmen pembaca yang telah telanjur dikaitkan dengan ”Kompas lama”.
Penempatan sebuah media sebagai simbol dan kompas semacam itu tidak hanya berkaitan dengan kebijakan isi, tetapi juga dengan tampilan tata letak dan visualisasi yang diterapkan. Tampilan Kompas yang warna-warni bisa melekatkan konsepsi yang ngepop, berbeda dengan tampilan serba hitam putih gaya ”Kompas lama” yang sering dikesankan konservatif, klasik, dan elegan. Ruang yang dipersempit, ulasan yang diperpendek, tata letak yang terstruktur ketat mungkin bisa menciptakan kesan pendangkalan, adanya kekangan struktural terhadap inisiatif individu jurnalis.
Namun semua kesan dan penilaian tersebut memang tidak sepenuhnya absah. Sebab, itu semua diberikan oleh pembaca dalam kategori ”tradisional”, yang terikat dengan kebiasaan masa lalu, terbiasa ”menginterogasi” teks-teks panjang, menikmati kedalaman suatu analisis, dan nyaman dengan moderasi sebuah penampilan.
Penilaian yang berbeda pasti akan diberikan oleh generasi modern, yang selera informasi serta pola penyerapan informasi mereka telah banyak terstruktur oleh pola audiovisual televisi, atau kebiasaan quick browsing internet, dan preferensi untuk hanya mencari petunjuk navigasi, pointers, highlights, cut outs, sebagai bekal mendalami sendiri suatu informasi.
Generasi pembaca ”tradisional” adalah pasar yang lambat laun akan hilang. Sekurangnya mereka terpaksa menyesuaikan diri dengan karakteristik industri media yang kian dominan dibentuk oleh televisi, internet, serta berbagai media berbasis teknologi tinggi, lengkap beserta gaya hidup yang datang satu paket bersamanya.
Karena itu, perubahan penampilan Kompas sebetulnya merupakan langkah market leader di pasar tradisional untuk memosisikan diri di pasar modern yang berangsur akan diisi sepenuhnya oleh konsumen dengan tuntutan baru. Lebih dari itu garis batas wilayah pasar tradisional itu sendiri semakin tidak bisa terpisahkan satu sama lain, dengan munculnya integrasi horizontal antara televisi, surat kabar, internet, dan sebagainya.
Persoalannya adalah bagaimana market leader di pasar tradisional mampu memastikan diri untuk tetap menjadi market leader di pasar modern seperti itu? Karena itu, cukup relevan untuk mempertanyakan: apakah perubahan yang dilakukan Kompas berbeda dan lebih bagus dibandingkan dengan yang dilakukan pemain pasar lainnya?
Untuk itu, salah satu masalah bagi harian ini adalah bagaimana resizing, redesigning, dan restructuring yang ditempuh tetap menjadikan harian ini berpenampilan elegan, klasik, tetap memiliki kedalaman kualitas sebagai quality newspaper—kualitas yang selama ini telah menempatkan Kompas menjadi market leader dalam ”pasar tradisional”.
Kebijakan resizing, contohnya, mendorong penyajian isi yang serba ringkas, berpotensi mengurangi kedalaman. Salah satu hal teknis yang bisa dicoba adalah menyajikan berita sebagai sandwich, memenggal berita sebagai satuan-satuan berita ringkas yang mandiri, yang masing-masing mudah dicerna. Resizing sering kali juga membatasi ruang gerak individual para jurnalis untuk mengekspresikan potensi kepakaran mereka. Analisis yang mereka sajikan cenderung menjadi sekadar ”berita tentang pendapat pakar”.
Oleh karena itu, selalu perlu diusahakan lahirnya jurnalis-jurnalis yang mampu menjadi pakar dalam bidang-bidang yang mereka minati, dan mampu menyajikan analisis otentik mereka sendiri dengan byline.
Namun, inti utama dari kesemuanya adalah perlunya sebuah kompas guna menemukan formula melakukan ”revolusi” dalam melakukan ”revolusi” yang telah dimulai Kompas.
Dedy N Hidayat Dosen Pascasarjana Komunikasi FISIP UI

Presiden Baru dan Isu "Deppen"

Oleh Dedy N Hidayat


PEMILIHAN presiden langsung merupakan salah satu tonggak pencapaian penting dalam proses demokratisasi. Namun, dalam kampanye pemilihan langsung itu, hingga kini publik belum sepenuhnya mengetahui komitmen para kandidat dalam melestarikan pencapaian-pencapaian reformasi lain, seperti penghapusan Departemen Penerangan.
Seorang calon presiden (capres) dalam sebuah kesempatan baru-baru ini bahkan menyatakan keinginannya untuk menghidupkan kembali Departemen Penerangan (Deppen). Alasannya, antara lain karena pers selama ini dinilai telah "kebablasan". Pernyataan itu cukup menggelisahkan kalangan publik. Terlebih, itu dikemukakan di tengah beredarnya informasi rencana DPR-dalam sisa masa kerjanya-untuk membahas sebuah Rancangan Undang-Undang, yang isinya diduga bisa membuka peluang dihidupkannya kembali Deppen atau departemen dengan nama lain sebagai reinkarnasi Deppen era Orde Baru (Orba).
Komitmen para capres untuk tidak menghidupkan kembali lembaga semacam Deppen amat perlu diketahui publik, khususnya agar publik bisa lebih lengkap menilai kualitas reformis dari masing- masing capres. Seperti secara luas telah dipahami publik, penghapusan Deppen, bersama dengan ketentuan yang menjamin kebebasan berserikat dan mendirikan partai, pemisahan Polri dan TNI, penghapusan Fraksi TNI/Polri di DPR/MPR, otonomi daerah, dan sejumlah lainnya merupakan tonggak pencapaian penting dalam proses demokratisasi era pascarezim otoritarian Orba.
Arti penting penghapusan Deppen dalam proses demokratisasi juga berkaitan dengan kenyataan bahwa eksistensi lembaga semacam itu merupakan salah satu ciri khas yang hanya dimiliki rezim-rezim totaliter atau otoriter. Ciri itulah yang membedakan dengan rezim-rezim politik demokratis. Hampir semua rezim fasis atau rezim komunis memiliki semacam Deppen, yang sering tidak sekadar berfungsi sebagai ideological state apparatus atau alat propaganda dan agitasi penguasa, tetapi sekaligus berperan sebagai bagian integral repressive state apparatus atau instrumen represif rezim penguasa, khususnya guna mengontrol pers, menentukan hidup matinya pers.
Antara pasar dan istana
Dari segi kepentingan publik, kebebasan pers merupakan elemen penting bagi kebebasan publik guna memperoleh informasi dan menyatakan pendapat melalui suatu public sphere atau suatu "ruang publik" di mana tiap unsur publik (atau civil society), dalam posisi sejajar, bisa melakukan diskursus rasional mengenai masalah-masalah yang menyangkut kepentingan bersama mereka, tanpa terdistorsi intervensi kepentingan penguasa (baca: state) atau penetrasi kepentingan pasar (economic society).
Konsep public sphere merupakan suatu konsepsi ideal atau penggambaran suatu ideal communication situation yang oleh banyak pihak sering dipertanyakan validitas historisnya. Namun, seperti konsepsi "masyarakat Pancasilais", sekurangnya konsepsi public sphere bisa dijadikan acuan normatif untuk mengukur sejauh mana proses demokratisasi telah berhasil terselenggara di suatu masyarakat.
Berbagai transformasi struktural sering menempatkan pers tak lagi mampu berperan sebagai suatu public sphere. Di satu sisi, khususnya masa Orba, rezim penguasa berusaha menempatkan pers sebagai instrumen politik (atau dalam istilah Orba "partner pembangunan", dan dalam jargon Orde Lama "alat revolusi").
Di sisi lain, terutama era pasca-Orba, pers cenderung lebih berperan sebagai institusi ekonomi yang didominasi logika sirkuit kepentingan akumulasi modal. Dominasi logika itulah yang menciptakan tatanan persaingan pasar (market structure), di mana institusi pers menerapkan segala strategi pasar (market conducts) untuk menjadikan hampir semua isu atau peristiwa sebagai komoditas informasi dan hiburan. Semuanya demi maksimalisasi rating dan pemasukan iklan (yang kian dinilai sebagai satu-satunya ukuran market performance mereka).
Oleh karena itu, sebuah kajian demokratisasi, dalam konteks konstelasi segitiga antara civil society-state-market, menilai likuidasi lembaga semacam Deppen sebagai langkah strategis bagi kepentingan publik. Terutama sekali guna menciptakan public sphere yang terbebas dari intervensi kepentingan penguasa, di mana di dalamnya pers mampu menempatkan diri sebagai forum publik, bukan instrumen propaganda rezim yang tengah berkuasa. Sementara itu, lahirnya UU Penyiaran dan lembaga semacam Komisi Penyiaran yang independen bisa dilihat sebagai langkah awal untuk mencegah agar public sphere yang ada tidak terlalu sarat memuat kepentingan akumulasi modal, di mana pers hanya berfungsi sebagai institusi ekonomi belaka.
Dengan kata lain, penghapusan Deppen di satu sisi, dan dibentuknya lembaga-lembaga regulasi independen di sisi lain, bisa ditempatkan sebagai bagian upaya strategis untuk menciptakan public sphere yang relatif terbebas dari state regulation yang melayani kepentingan penguasa, tanpa harus terjebak market regulation di mana segala sesuatunya diserahkan kepada mekanisme serta pelaku pasar. Karakteristik public sphere yang seperti itu akhirnya merupakan acuan untuk menilai kualitas civil society dalam sebuah sistem politik demokrasi.
Dari sudut pandang itulah, publik berhak mengetahui komitmen capres untuk tidak menghidupkan kembali Deppen.
Era "media presidency"
Mengamati hubungan antara pers dan capres saat ini, kita bisa menangkap sinyal tumbuhnya niat untuk "mengontrol" pers. Niat itu mungkin justru dimunculkan ketidakmampuan untuk menghadapi atau menggunakan pers seperti yang dikehendaki. Beberapa rekan jurnalis merasa diancam, oleh tim sukses capres, karena liputan yang mereka nilai merugikan citra capres unggulannya. Dalam kasus lain, seorang capres menampakkan kemarahannya saat wawancara dalam sebuah acara televisi. Sang capres beberapa kali mengecam pers telah berlaku tidak adil dan sering "memelintir" fakta mengenai dirinya.
"Kegeraman" terhadap pers semacam itu bisa memicu keinginan mengambil jalan pintas dengan menghidupkan kembali lembaga represif semacam Deppen bila kelak salah satu di antara mereka memenangi pemilu. Sebenarnya, yang penting disadari seorang presiden atau capres, suka atau tidak, kita kini telah memasuki era media presidency, suatu era kehidupan politik di mana otoritas kepresidenan amat ditentukan oleh kemampuan presiden dalam mengelola opini publik, melalui penerapan manajemen komunikasi antara istana dan pers. Sebab, kini hampir sebagian besar proses politik sebenarnya merupakan mediated politics atau bahkan media-driven politics (Bennet dan Entman, 2001).
Fungsi penghubung antara presiden dan masyarakat kian banyak diambil alih pers dari tangan partai dan kelompok-kelompok politik lain. Proses memproduksi dan mereproduksi sumber daya politik-seperti dukungan masyarakat terhadap kebijakan presiden, citra kinerja presiden, dan legitimasi politik presiden-kian dominan dijembatani, bahkan dikemudikan, oleh sebuah kelompok elite politik baru yang sering disebut "Mat Kodak" atau "kuli tinta".
Oleh karena itu, daripada menempuh alternatif menghidupkan kembali ideological state apparatus atau repressive state apparatus lebih cerdas bila presiden baru kita kelak membangun sebuah tim manajemen komunikasi yang profesional dan mampu beradaptasi dengan dinamika hubungan antara istana dan para "kuli tinta".
Dedy N Hidayat Dosen Pascasarjana FISIP-UI

Dedy N Hidayat dan Kepentingan Media

KOMPAS

Media massa tidak lagi menjadi institusi yang terpisah dari kondisi sosial di sekitarnya. Kini media massa harus didudukkan selayaknya institusi ekonomi di mana informasi diolah dan disajikan sebatas sebagai komoditas dalam parameter laku-tidaknya dijual.
Menurut pakar komunikasi Universitas Indonesia (UI), Dedy Nur Hidayat, kondisi itulah yang menuntut masyarakat lebih "melek media", bersikap kritis dalam memamah informasi. Berikut petikan wawancara Kompas dengan Dedy di ruang kerjanya di kompleks UI Salemba, Selasa (11/4) siang, saat hujan begitu deras menyiram Jakarta dan menggenangi.
Bagaimana Anda melihat perkembangan media di Indonesia saat ini?
Teori media yang berkembang sekarang menjadikan media tidak lagi menjadi fokus yang utama. Kita tidak bisa mempelajari media sebagai suatu fenomena terisolir dalam konteks sosial budaya. Teori tentang media harus menjadi bagian teori yang lebih besar. Media merupakan salah satu elemen dari konfigurasi yang lebih besar. Media ada dalam triangulasi hubungan antara negara, pasar, dan civil society. Media menjadi komponen yang menjembatani hubungan segitiga itu, tapi media harus juga dilihat ujud kepentingan sendiri.
Hubungan triangulasi bisa juga diterapkan pada masa sebelumnya, tapi pada masa reformasi perimbangannya sudah berubah. Dulu hubungan itu sangat didominasi oleh negara, sekarang pasar yang lebih dominan. Civil society sekalipun sudah menonjol perannya, tapi masih belum cukup "dewasa" dan masih banyak diintervensi dan dapat dengan mudah dimanfaatkan. Banyak kelompok swadaya masyarakat hanyalah perpanjangan tangan kepentingan sosial politik atau kekuasaan. Contoh paling gamblang, ada demonstran yang dibayar. Kalau orang tidak tahu, itu dianggap sebagai penguatan civil society, padahal tidak.
Kebebasan pers tidak bisa dilihat terpisah dari kebebasan publik untuk menyampaikan pendapat. Kebebasan pers bukan hanya kebebasan orang pers untuk menyampaikan pendapat. Dominasi modal dalam industri pers merugikan publik yang tidak punya akses sebagaimana yang seharusnya dimiliki. Juga jurnalis akan dirugikan, lama- kelamaan mereka lebih banyak menempatkan diri sebagai buruh media—sekalipun tidak banyak jurnalis yang disebut sebagai buruh media.
Dengan kondisi seperti itu, bagaimana menempatkan media?
Mau tidak mau, pertama-tama media harus dilihat sebagai institusi ekonomi, institusi bisnis. Memang harus hati-hati agar tidak terjebak dalam economic determinism sehingga seolah-olah semua yang dilakukan media selalu didasari pertimbangan ekonomi. Akan tetapi, apa pun motivasi media, pada akhirnya media akan dihadapkan pada kenyataan bahwa media adalah institusi ekonomi. Mungkin saja ada media yang punya idealisme. Di sisi lain, demokratisasi politik dapat dilihat sebagai liberalisasi politik, datang satu paket dengan liberalisasi ekonomi. Di Indonesia juga begitu. Karena itu, liberalisasi politik sangat rentan terhadap kepentingan yang datang bersamaan dengan liberalisasi ekonomi tadi. Demokratisasi yang ada akan semakin banyak dimanfaatkan kelompok pemilik modal yang mampu masuk ke industri media.
Apakah artinya media akan semakin tersegmentasi, setiap kelompok kepentingan memiliki corong masing-masing?
Idealnya tidak, karena semestinya ada media yang bisa menjembatani ketiga elemen tadi. Bukan malah lahir media milik pemerintah atau media swasta. Struktur media yang ada sekarang ini tidak terlepas dari latar belakang historis dan perimbangan kekuatan di masa lalu. Pasar di industri media bukan realitas obyektif, tapi suatu konstruksi sosial yang tidak bisa lepas begitu saja dari konfigurasi masa lalu atau yang ada pada saat ini. Itu realitas yang tidak bisa kita terima begitu saja.
Kalau begitu, bengkoknya di mana?
Khususnya di era globalisasi, media lebih banyak menampilkan diri sebagai institusi ekonomi yang mencari untung dan mempergunakan kriteria ekonomi untuk mengukur kinerjanya ketika seharusnya media lebih berpijak pada kriteria kepentingan publik. Sekarang media melihat publik lebih sebagai konsumen saja yang dipilah antara mereka yang punya daya beli dan yang tidak. Segmen publik yang tidak punya nilai ekonomi tidak akan dilayani, seperti suku minoritas yang tidak akan punya akses ke media. Kelompok mayoritas untuk kepentingan yang menguntungkan bagi rating akan lebih banyak ditampilkan.
Yang jadi masalah, akses publik ke media akan ditentukan oleh faktor politik dan ekonomi. Kelompok yang tidak punya itu tidak akan banyak memperoleh akses ke media. Kalaupun masalah mereka ditampilkan ke media, itu karena masalah mereka bisa diolah dan ditampilkan sebagai komoditas. Kemiskinan dieksploitasi, dijadikan tontonan. Buruh pun kalau berdemo baik-baik tidak akan ditampilkan media. Mau tidak mau, mereka membikin keributan untuk menarik perhatian. Publik akan mencari strategi agar mendapatkan akses untuk menyuarakan kepentingan mereka.
Karena setiap media memiliki agenda tersendiri, bukankah perbenturan bakal semakin kerap terjadi?
Dalam kasus tertentu, ya. Bisa karena faktor nilai ekonomis, bisa juga politis. Namun itu wajar saja, menjadi tidak wajar jika semua media menggunakan tolok ukur yang sama. Obyektif kalau masing-masing media dengan subyektivitasnya sendiri menampilkan hal yang berbeda-beda. Jadi kalau mau mendapatkan hal yang obyektif, baca semua media. Yang menjadi masalah kalau semua media sampai pada kriteria yang sama, menetapkan hal-hal mana yang bisa atau tidak bisa ditampilkan di media. Misalnya, hal-hal yang berkaitan dengan komunisme, semua sepakat itu tidak bisa lagi diungkit-ungkit. Atau dalam masalah Timor Timur dulu, semua sepakat bahwa Timtim bagian integral NKRI dan NKRI suatu ujud final. Sementara dari sisi ekonomi, berbahaya juga jika semua punya pertimbangan ekonomi yang sama. Akhirnya yang ditampilkan hanya berita yang homogen. Contohnya, persaingan antartelevisi semakin ketat. Namun yang muncul bukan diversifikasi, malahan ada kecenderungan ke arah homogenisasi produk. Yang satu menampilkan mistik, yang lain meniru yang sama karena ada kaidah ekonomi tertentu yang mereka anut bersama. Buat apa berinvestasi pada produk inovatif tapi belum tentu laku, pakai saja formulasi yang sudah terbukti laku. Itu yang mengkhawatirkan jika tolok ukur atau ideologi semuanya sama.
Gurita dan agenda
Sebelum kini dikenal sebagai pakar komunikasi, siapa mengira bahwa Dedy adalah lulusan sebuah sekolah teknik menengah di Malang? Merantau ke Jakarta, Dedy muda sempat menjajal menjadi pegawai sebuah perusahaan kontraktor sembari merangkap belajar di SMA sebelum kemudian masuk ke UI.
Ketika banyak pakar dari UI tersedot keluar kampus, aktif di banyak lembaga dan akhirnya menjadi "selebritas" (ataupun malah sekalian terjerembab menjadi pesakitan), Dedy memilih lebih berkonsentrasi mengajar dan berkegiatan di kampus. Dedy mengaku sebagai orang "kuno" yang terlalu terikat dengan ruang dan tempat sehingga kampus Salemba benar-benar "mengikatnya" untuk tidak ke mana-mana. "Mungkin juga karena saya memang tidak mampu," kata Dedy merendah.
Bila setiap media punya kepentingan dan agenda tersendiri, bagaimana mereka berhadap-hadapan dalam sebuah isu?
Yang diharapkan, media tetap menempatkan diri sebagai media karena yang menjadi penilai akhir adalah publik. Media tidak diharapkan untuk memutuskan mana yang benar. Media punya sikap, tapi yang nantinya memutuskan adalah publik. Esensi demokratisasi media seperti itu, menampilkan alternatif sikap yang diperlukan publik untuk melakukan pilihan-pilihan. Kenapa tidak enak untuk berhadap-hadapan? Daripada berhadap-hadapan di jalanan dan clash antarpublik, lebih baik media saja yang berhadapan. Kalau sebuah media memiliki preferensi tertentu, bagaimanapun dia pasti akan memberi akses luas bagi kelompok tertentu yang sejalan.